Rabu, 27 Oktober 2021

RESUME PERUBAHAN UU KETENAGAKERJAAN NO. 13 TAHUN 2003 KE DALAM UU CIPTA KERJA NO. 11 TAHUN 2020

    

 
   
 Dear sahabat catatan-hrd, setelah lama vacum dan tidak mempublish artikel di blog kesayangan kita ini, kali ini saya akan kembali menuangkan artikel yang semoga bermanfaat untuk kita semua. Kali ini saya akan mengangkat tema tentang perubahan UU ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003 ke dalam UU Cipta kerja No. 11 Tahun 2020 (cluster ketenagakerjaan). 
    Seperti yang telah kita ketahui bersama, pada tahun 2020 lalu, pemerintah telah mengesahkan UU Cipta kerja No. 11 Tahun 2020 (cluster ketenagakerjaan) sebagai perubahan atas UU ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003. Uniknya, tidak semua pasal yang terdapat di dalam UU ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003 mengalami perubahan. Dalam hal ini beberapa diantaranya mengalami penghapusan pasal, penggubahan isi pasal, maupun penyisipan / penambahan pasal tertentu. Keunikan ini menimbulkan dokumen induk UU Ketenagakerjaan yang berlaku saat ini terpecah menjadi dua bagian yang tidak dapat dipisahkan, yaitu UU ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003 dan UU Cipta kerja No. 11 Tahun 2020 (cluster ketenagakerjaan). Ini tentu menimbulkan masalah baru bagi para praktisi terkait terutama para praktisi baru yaitu, dalam proses penelaahan menyeluruh pada substansi yang terkandung di dalamnya.
    Guna mempermudah dan sebagai panduan dalam proses penelaahan tersebut, saya telah merangkum perubahan-perubahan yang ada ke dalam tabel di bawah ini. 

Tabel 
Resume Perubahan UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 Ke dalam UU Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020            

NO

PASAL (UU 13 2003)

UU 13 2003

UU 11 2020

BENTUK PERUBAHAN

1

13

(1) Pelatihan kerja diselenggarakan oleh lembaga pelatihan

kerja pemerintah dan/atau lembaga pelatihan kerja swasta.

(2) Pelatihan kerja dapat diselenggarakan di tempat pelatihan

atau tempat kerja.

(3) Lembaga pelatihan kerja pemerintah sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) dalam menyelenggarakan

pelatihan kerja dapat bekerja sama dengan swasta.

Pelatihan kerja diselenggarakan oleh:

a- lembaga pelatihan kerja pemerintah;

b. lembaga pelatihan kerja swasta; atau

c. lembaga pelatihan kerja perusahaan.

(21 Pelatihan kerja dapat diselenggarakan di tempat

pelatihan atau tempat kerja.

(3) Lembaga pelatihan kerja pemerintah sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) huruf a dalam

menyelenggarakan pelatihan kerja dapat bekerja

sama dengan swasta.

(4) Lembaga pelatihan kerja pemerintah sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) huruf a dan lembaga

pelatihan kerja perusahaan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) huruf c mendaftarkan kegiatannya

kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang

ketenagakerjaan di kabupaten/ kota.

DIUBAH

2

14

(1) Lembaga pelatihan kerja swasta dapat berbentuk badan

hukum Indonesia atau perorangan.

(2) Lembaga pelatihan kerja swasta sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1) wajib memperoleh izin atau mendaftar ke

instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan

di kabupaten/kota.

(3) Lembaga pelatihan kerja yang diselenggarakan oleh instansi

pemerintah mendaftarkan kegiatannya kepada instansi

yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di

kabupaten/kota.

 

(4) Ketentuan mengenai tata cara perizinan dan pendaftaran

lembaga pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam

ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.

(1) Lembaga pelatihan kerja swasta sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b wajib

memenuhi Perizinan Berusaha yang diterbitkan oleh

Pemerintah Daerah kabupaten/kota.

(2) Bagi lembaga pelatihan kerja swasta yang terdapat

penyertaan modal asing, Perizinan Berusaha

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh

Pemerintah Pusat.

(3) Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dan ayat (2) harus memenuhi norma, standar,

prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh

Pemerintah Pusat.

DIUBAH

3

37

(1) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 35 ayat (1) terdiri dari :

a. instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang

ketenagakerjaan; dan

b. lembaga swasta berbadan hukum.

(2) Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) huruf b dalam melaksanakan

pelayanan penempatan tenaga kerja wajib memiliki izin

tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

(1) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) terdiri atas:

a instansi pemerintah yang bertanggung jawab di

bidang ketenagakerjaan; dan

b. lembaga penempatan tenaga kerja swasta.

(2) Lembaga penempatan tenaga kerja swasta

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dalam

melaksanakan pelayanan penempatan tenaga kerja

wajib memenuhi Perizinan Berusaha yang diterbitkan

oleh Pemerintah Pusat.

(3) Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat

(2) harus memenuhi norma, standar, prosedur, dan

kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

DIUBAH

4

42

(1) Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja

asing wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat

yang ditunjuk.

(2) Pemberi kerja orang perseorangan dilarang mempekerjakan

tenaga kerja asing.

(3) Kewajiban memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam ayat

(1), tidak berlaku bagi perwakilan negara asing yang

mempergunakan tenaga kerja asing sebagai pegawai

diplomatik dan konsuler.

(4) Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya

dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu

tertentu.

(5) Ketentuan mengenai jabatan tertentu dan waktu tertentu

sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) ditetapkan dengan

Keputusan Menteri.

(6) Tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (4)

yang masa kerjanya habis dan tidak dapat diperpanjang

dapat digantikan oleh tenaga kerja asing lainnya.

(1) Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga

kerja asing wajib memiliki rencana penggunaan

tenaga kerja asing yang disahkan oleh Pemerintah

Pusat.

(2) Pemberi kerja orang perseorangan dilarang

mempekerjakan tenaga kerja asing.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak

berlaku bagi:

a- direksi atau komisaris dengan kepemilikan

saham tertentu atau pemegang saham sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan;

b. pegawai diplomatik dan konsuler pada kantor

perwakilan negara asing; atau

c. tenaga kerja asing yang dibutuhkan oleh pemberi

kerja pada jenis kegiatan produksi yang terhenti

karena keadaan darurat, vokasi, perusahaan

rintisan (start-up) berbasis teknologi, kunjungan

bisnis, dan penelitian untuk jangka waktu

tertentu.

(4) Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia

hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu

dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai

dengan jabatan yang akan diduduki.

(5) Tenaga kerja asing dilarang menduduki jabatan yang

mengurLlsi personalia.

(6) Ketentuan mengenai jabatan tertentu dan waktu

tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur

dalam Peraturan Pemerintah.

DIUBAH

5

43

(1) Pemberi kerja yang menggunakan tenaga kerja asing harus

memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing yang

disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

(2) Rencana penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat

keterangan:

a. alasan penggunaan tenaga kerja asing;

b. jabatan dan/atau kedudukan tenaga kerja asing dalam

struktur organisasi perusahaan yang bersangkutan;

c. jangka waktu penggunaan tenaga kerja asing; dan

d. penunjukan tenaga kerja warga negara Indonesia

sebagai pendamping tenaga kerja asing yang

dipekerjakan.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak

berlaku bagi instansi pemerintah, badan-badan

internasional dan perwakilan negara asing.

(4) Ketentuan mengenai tata cara pengesahan rencana

penggunaan tenaga kerja asing diatur dengan Keputusan

Menteri.

-

DIHAPUS

6

44

(1) Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib menaati ketentuan

mengenai jabatan dan standar kompetensi yang berlaku.

(2) Ketentuan mengenai jabatan dan standar kompetensi

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan

Keputusan Menteri.

-

DIHAPUS

7

45

(1) Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib:

a. menunjuk tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai

tenaga pendamping tenaga kerja asing yang

dipekerjakan untuk alih teknologi dan alih keahlian dari

tenaga kerja asing; dan

b. melaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja bagi

tenaga kerja Indonesia sebagaimana dimaksud pada

huruf a yang sesuai dengan kualifikasi jabatan yang

diduduki oleh tenaga kerja asing.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak

berlaku bagi tenaga kerja asing yang menduduki jabatan

direksi dan/atau komisaris.

(1) Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib:

 

menunjuk tenaga kerja warga negara Indonesia

sebagai tenaga pendamping tenaga kerja asing

yang dipekerjakan untuk alih teknologi dan alih

keahlian dari tenaga kerja asing;

b. melaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja

bagi tenaga kerja Indonesia sebagaimana

dimaksud pada huruf a yang sesuai dengan

kualifikasi jabatan yang diduduki oleh tenaga

kerja asing; dan

c. memulangkan tenaga kerja asing ke negara

asalnya setelah hubungan kerjanya berakhir.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

huruf a dan huruf b tidak berlaku bagi tenaga kerja

asing yang menduduki jabatan tertentu.

DIUBAH

8

46

(1) Tenaga kerja asing dilarang menduduki jabatan yang

mengurusi personalia dan/atau jabatan-jabatan tertentu.

(2) Jabatan-jabatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri

-

DIHAPUS

9

47

(1) Pemberi kerja wajib membayar kompensasi atas setiap

tenaga kerja asing yang dipekerjakannya.

(2) Kewajiban membayar kompensasi sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1) tidak berlaku bagi instansi pemerintah,

perwakilan negara asing, badan-badan internasional,

lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan-jabatan

tertentu di lembaga pendidikan.

(3) Ketentuan mengenai jabatan-jabatan tertentu di lembaga

pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur

dengan Keputusan Menteri.

(4) Ketentuan mengenai besarnya kompensasi dan

penggunaannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(1) Pemberi kerja wajib membayar kompensasi atas

setiap tenaga kerja asing yang dipekerjakannya.

(2) Kewajiban membayar kompensasi sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi instansi

pemerintah, perwakilan negara asing, badan

internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan,

dan jabatan tertentu di lembaga pendidikan.

(3) Ketentuan mengenai besaran dan penggunaan

kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diatur sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

DIUBAH

10

48

Pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib

memulangkan tenaga kerja asing ke negara asalnya setelah

hubungan kerjanya berakhir.

-

DIHAPUS

11

49

Ketentuan mengenai penggunaan tenaga kerja asing serta

pelaksanaan pendidikan dan pelatihan tenaga kerja

pendamping diatur dengan Keputusan Presiden.

Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan tenaga kerja

asing diatur dalam Peraturan Pemerintah.

DIUBAH

12

56

(1) Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk

waktu tidak tertentu.

(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) didasarkan atas :

a. jangka waktu; atau

b. selesainya suatu pekerjaan tertentu

(1) Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau

untuk waktu tidak tertentu.

(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas:

a- jangka waktu; atau

b. selesainya suatu pekerjaan tertentu.

(3) Jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan

tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

ditentukan berdasarkan perjanjian kerja.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai perjanjian kerja

waktu tertentu berdasarkan jangka waktu atau

selesainya suatu pekerjaan tertentu diatur dalam

Peraturan Pemerintah.

DIUBAH

13

57

(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis

serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin.

(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang dibuat tidak

tertulis bertentangan dengan ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) dinyatakan sebagai perjanjian kerja

untuk waktu tidak tertentu.

(3) Dalam hal perjanjian kerja dibuat dalam bahasa Indonesia

dan bahasa asing, apabila kemudian terdapat perbedaan

penafsiran antara keduanya, maka yang berlaku perjanjian

kerja yang dibuat dalam bahasa Indonesia.

(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara

tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia

dan huruf latin.

(2) Dalam hal perjanjian kerja waktu tertentu dibuat

dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing, apabila

kemudian terdapat perbedaan penafsiran antara

keduanya, yang berlaku perjanjian kerja waktu

tertentu yang dibuat dalam bahasa Indonesia.

 

DIUBAH

14

58

(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat

mensyaratkan adanya masa percobaan kerja.

(2) Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja dalam

perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),

masa percobaan kerja yang disyaratkan batal demi hukum.

(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat

mensyaratkan adanya masa percobaan kerja.

(2) Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masa

percobaan kerja yang disyaratkan tersebut batal demi

hukum dan masa kerja tetap dihitung.

 

DIUBAH

15

59

(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat

untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau

kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu,

yaitu:

a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara

sifatnya;

b. pekerjaaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam

waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga)

tahun;

c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau

d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru,

kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih

dalam percobaan atau penjajakan.

(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan

untuk pekerjaan yang bersifat tetap.

(3) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang

atau diperbaharui.

(4) Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas

jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2

(dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali

untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.

(5) Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian

kerja waktu tertentu tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari

sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir telah

memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada

pekerja/buruh yang bersangkutan.

(6) Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat

diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga

puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu

yang lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini

hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua)

tahun.

(7) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak

memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi

hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.

(8) Hal-hal lain yang belum diatur dalam pasal ini akan diatur

lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.

(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat

dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis

dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai

dalam waktu tertentu, yaitu sebagai berikut:

a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang

sementara sifatnya;

b. pekerjaaan yang diperkirakan penyelesaiannya

dalam waktu yang tidak terlalu lama;

c. pekerjaan yang bersifat musiman;

d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk

baru, kegiatan baru, atau produk tambahan

yang masih dalam percobaan atau penjajakan;

atau

e. pekerjaan yang jenis dan sifat atau kegiatannya

bersifat tidak tetap.

 

(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat

diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.

(3) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak

memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dan ayat (2) demi hukum menjadi perjanjian

kerja waktu tidak tertentu.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan sifat atau

kegiatan pekerjaan, jangka waktu, dan batas waktu

perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu diatur

dalam Peraturan Pemerintah.

DIUBAH

16

61

(1) Perjanjian kerja berakhir apabila:

a. pekerja meninggal dunia;

b. berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;

c. adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau

penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan

industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;

atau

d. adanya keadaan atau kejadian tertentu yang

dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan

perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat

menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.

(2) Perjanjian kerja tidak berakhir karena meninggalnya

pengusaha atau beralihnya hak atas perusahaan yang

disebabkan penjualan, pewarisan, atau hibah.

(3) Dalam hal terjadi pengalihan perusahaan maka hak-hak

pekerja/buruh menjadi tanggung jawab pengusaha baru,

kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan yang

tidak mengurangi hak-hak pekerja/buruh.

(4) Dalam hal pengusaha, orang perseorangan, meninggal

dunia, ahli waris pengusaha dapat mengakhiri perjanjian

kerja setelah merundingkan dengan pekerja/buruh.

(5) Dalam hal pekerja/buruh meninggal dunia, ahli waris

pekerja/buruh berhak mendapatkan hak-haknya sesuai

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau

hak-hak yang telah diatur dalam perjanjian kerja,

peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.B

(1) Perjanjian kerja berakhir apabila:

a- pekerja/buruh meninggal dunia;"

b. berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;

c. selesainya suatu pekerjaan tertentu;

d. adanya putusan pengadilan danf atau putusan

lembaga penyelesaian perselisihan hubungan

industrial yang telah mempunyai kekuatan

hukum tetap; atau

e. adanya keadaan atau kejadian tertentu yang

dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan

perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang

dapat menyebabkan berakhirnya hubungan

kerja.

 

(2) Perjanjian kerja tidak berakhir karena meninggalnya

pengusaha atau beralihnya hak atas perusahaan

yang disebabkan penjualan, pewarisan, atau hibah.

(3) Dalam hal terjadi pengalihan perusahaan, hak-hak

pekerja/buruh menjadi tanggung jawab pengusaha

baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian

pengalihan yang tidak mengurangi hak-hak

pekerja/buruh.

(4) Dalam hal pengusaha orang perseorangan meninggal

dunia, ahli waris pengusaha dapat mengakhiri

perjanjian kerja setelah merundingkan dengan

pekerja/buruh.

(5) Dalam hal pekerja/buruh meninggal dunia, ahli waris

pekerja/buruh berhak mendapatkan hak-haknya

sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau

hak-hak yang telah diatur dalam perjanjian kerja,

peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja

bersama.

 

DIUBAH

17

61A

-

(1) Dalam hal perjanjian kerja waktu tertentu berakhir

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) huruf

b dan huruf c, pengusaha wajib memberikan uang

kompensasi kepada pekerja/ buruh.

(21 Uang kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) diberikan kepada pekerja/buruh sesuai dengan

masa kerja pekerja/buruh di perusahaan yang

bersangkutan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai uang kompensasi

diatur dalam Peraturan Pemerintah.

SISIPAN BARU

18

64

Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan

pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian

pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh

yang dibuat secara tertulis.

-

DIHAPUS

19

65

(1) Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada

perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian

pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis.

(2) Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi

syarat-syarat sebagai berikut:

a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;

b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak

langsung dari pemberi pekerjaan;

c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara

keseluruhan; dan

d. tidak menghambat proses produksi secara langsung.

(3) Perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

harus berbentuk badan hukum.

(4) Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi

pekerja/buruh pada perusahaan lain sebagaimana

dimaksud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya sama dengan

perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada

perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(5) Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat

sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut

dengan Keputusan Menteri.

(6) Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam

perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan lain dan

pekerja/buruh yang dipekerjakannya.

 

(7) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (6)

dapat didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak

tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu apabila

memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 59.

(8) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat

(2), dan ayat (3), tidak terpenuhi, maka demi hukum status

hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan

penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja

pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan.

(9) Dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi

pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8), maka

hubungan kerja pekerja/buruh dengan pemberi pekerjaan

sesuai dengan hubungan kerja sebagaimana dimaksud

dalam ayat (7).

-

DIHAPUS

20

66

(1) Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa

pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja

untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang

berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali

untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak

berhubungan langsung dengan proses produksi.

(2) Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa

penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung

dengan proses produksi harus memenuhi syarat sebagai

berikut:

a. adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan

perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;

b. perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja

sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah perjanjian

kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau

perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara

tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak;

c. perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat

kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung

jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; dan

d. perjanjian antara perusahaan pengguna jasa

pekerja/buruh dan perusahaan lain yang bertindak

sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat

secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal

sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.

(3) Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha

yang berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang

bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.

 

(4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf d serta ayat

(3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan

kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa

pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara

pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.

(1) Hubungan kerja antara perusahaan alih daya dengan

pekerja/buruh yang dipekerjakannya didasarkan

pada perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis, baik

perjanjian kerja waktu tertentu maupun perjanjian

kerja waktu tidak tertentu.

(2) Pelindungan pekerja/buruh, upah dan kesejahteraan,

syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul

dilaksanakan sekurang-kurangnya sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan dan

menjadi tanggung jawab perusahaan alih daya.

(3) Dalam hal perusahaan alih daya mempekerjakan

pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja waktu

tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

perjanjian kerja tersebut harus mensyaratkan

pengalihan pelindungan hak-hak bagi pekerja/buruh

apabila terjadi pergantian perulsahaan alih daya dan

sepanjang objek pekerjaannya tetap ada.

(4) Perusahaan alih daya sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) berbentuk badan hukum dan wajib

memenuhi Perizinan Berusaha yang diterbitkan oleh

Pemerintah Pusat.

(5) Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat

(4) harus memenuhi norma, standar, prosedur, dan

kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelindungan

pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

dan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada

ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

DIUBAH

21

77

(1) Setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu

kerja.

(2) Waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:

a. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1

(satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu)

minggu; atau

b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1

(satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu)

minggu.

(3) Ketentuan waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat

(2) tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu.

(4) Ketentuan mengenai waktu kerja pada sektor usaha atau

pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)

diatur dengan Keputusan Menteri.

(1) Setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan

waktu kerja.

(2) Waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

meliputi:

a. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh)

jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja

dalam 1 (satu) minggu; atau

b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat

puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari

kerja dalam 1 (satu) minggu.

 

(3) Ketentuan waktu kerja sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) tidak berlaku bagi sektor usaha atau

pekerjaan tertentu.

(4) Pelaksanaan jam kerja bagi pekerja/buruh di

perusahaan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan

perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai waktu kerja pada

sektor usaha atau pekerjaan tertentu sebagaimana

dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan

Pemerintah.

 

DIUBAH

22

78

(1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi

waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2)

harus memenuhi syarat:

a. ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan

b. waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling

banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat

belas) jam dalam 1 (satu) minggu.

(2) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi

waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib

membayar upah kerja lembur.

(3) Ketentuan waktu kerja lembur sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1) huruf b tidak berlaku bagi sektor usaha

atau pekerjaan tertentu.

(4) Ketentuan mengenai waktu kerja lembur dan upah kerja

lembur sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3)

diatur dengan Keputusan Menteri.

(1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh

melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 77 ayat (2) harus memenuhi syarat:

a- ada persetujuan pekerja/buruh yang

bersangkutan; dan

b. waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan

paling lama 4 (empat) jam dalam 1 (satu) hari

dan 18 (delapan belas) jam dalam 1 (satu)

minggu.

 

(2) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh

melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) wajib membayar upah kerja lembur.

(3) Ketentuan waktu kerja lembur sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak berlaku bagi

sektor usaha atau pekerjaan tertentu.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai waktu kerja lembur

dan upah kerja lembur diatur dalam Peraturan

Pemerintah.

 

DIUBAH

23

79

(1) Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada

pekerja/buruh.

 

(2) Waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1), meliputi :

a. istirahat antara jam kerja, sekurang-kurangnya setengah

jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus

dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja;

b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari

kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5

(lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu;

c. cuti tahunan, sekurang-kurangnya 12 (dua belas) hari

kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja

selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus; dan

d. istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan

dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan

masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang

 

telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus-

menerus pada perusahaan yang sama dengan

 

ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi

atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan

dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa

kerja 6 (enam) tahun.

(3) Pelaksanaan waktu istirahat tahunan sebagaimana

dimaksud dalam ayat (2) huruf c diatur dalam perjanjian

kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

(4) Hak istirahat panjang sebagaimana dimaksud dalam

ayat (2) huruf d hanya berlaku bagi pekerja/buruh yang

bekerja pada perusahaan tertentu.

(5) Perusahaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4)

diatur dengan Keputusan Menteri.

(1) Pengusaha wajib memberi:

a- waktu istirahat; dan

b. cuti.

(21 Waktu istirahat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

huruf a wajib diberikan kepada pekerja/buruh paling

sedikit meliputi:

a. istirahat antara jam kerja, paling sedikit

setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat)

jam terus menerus, dan waktu istirahat tersebut

tidak termasuk jam kerja; dan

b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam)

hari kerja dalam 1 (satu) minggu.

(3) Cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b

yang wajib diberikan kepada pekerja/buruh, yaitu

cuti tahunan, paling sedikit 12 (dua belas) hari kerja

setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja

selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus.

(4) Pelaksanaan cuti tahunan sebagaimana dimaksud

pada ayat (3) diatur dalam perjanjian kerja, peraturan

perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

(5) Selain waktu istirahat dan cuti sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), ayat (2)l, dan ayat (3),

perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat

panjang yang diatur dalam perjanjian kerja,

peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja

bersama.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai perusahaan tertentu

sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan

Peraturan Pemerintah.

DIUBAH

24

88

(1) Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang

memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

(2) Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi

penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1), pemerintah menetapkan kebijakan

pengupahan yang melindungi pekerja/buruh.

(3) Kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh

sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) meliputi :

a. upah minimum;

b. upah kerja lembur;

c. upah tidak masuk kerja karena berhalangan;

d. upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain

di luar pekerjaannya;

e. upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;

f. bentuk dan cara pembayaran upah;

g. denda dan potongan upah;

h. hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;

i. struktur dan skala pengupahan yang proporsional;

j. upah untuk pembayaran pesangon; dan

k. upah untuk perhitungan pajak penghasilan.

(4) Pemerintah menetapkan upah minimum sebagaimana

dimaksud dalam ayat (3) huruf a berdasarkan kebutuhan

hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan

pertumbuhan ekonomi.

(1) Setiap pekerja/buruh berhak atas penghidupan yang

layak bagi kemanusiaan.

(21 Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan pengupahan

sebagai salah satu upaya mewujudkan hak

pekerja/buruh atas penghidupan yang layak bagi

kemanusiaan.

(3) Kebijakan pengupahan sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) meliputi:

a upah minimum;

b. stmktur dan skala upah;

c upah kerja lembur;

d upah tidak masuk kerja dan/atau tidak

melakukan pekerjaan karena alasan tertentu;

e bentuk dan cara pembayaran upah;

f hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;

dan

g upah sebagai dasar perhitungan atau

pembayaran hak dan kewajiban lainnya.

(4) Ketentuan iebih lanjut mengenai kebijakan

pengupahan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

DIUBAH

25

88A

-

(1) Hak pekerja/buruh atas upah timbul pada saat

terjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan

pengusaha dan berakhir pada saat putusnya

hubungan kerja.

(2) Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh upah yang

sama untuk pekerjaan yang sama nilainya.

(3) Pengusaha wajib membayar upah kepada

pekerja/buruh sesuai dengan kesepakatan.

(4) Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas

kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh

atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih

rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan

dalam peraturan perundang-undangan.

(5) Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud pada

ayat (4) lebih rendah atau bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan, kesepakatan

tersebut batal demi hukum dan pengaturan

pengupahan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

(6) Pengusaha yang karena kesengajaan atau

kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan

pembayaran upah, dikenakan denda sesuai dengan

persentase tertentu dari upah pekerja/buruh.

(7) Pekerja/buruh yang melakukan pelanggaran karena

kesengajaan atau kelalaiannya dapat dikenakan

denda.

(8) Pemerintah mengatur pengenaan denda

pengusaha dan/atau pekerja/buruh

pembayaran upah.

SISIPAN BARU

26

88B

-

(1)  Upah ditetapkan berdasarkan:

a satuan waktu; dan/atau

b. satuan hasil.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai upah berdasarkan

satuan waktu dan/atau satuan hasil sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan

Pemerintah.

SISIPAN BARU

27

88C

-

(1)  Gubernur wajib menetapkan upah minimum provinsi.

(2)  Gubernur dapat menetapkan upah minimum

kabupaten/ kota dengan syarat tertentu.

(3)  Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dan ayat (2) ditetapkan berdasarkan kondisi ekonomi

dan ketenagakerjaan.

(4)  Syarat tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

meliputi pertumbuhan ekonomi daerah atau inflasi

pada kabupaten/kota yang bersangkutan.

(5)  Upah minimum kabupaten/kota sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) harus lebih tinggi dari upah

minimum provinsi.

(6)  Kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan sebagaimana

dimaksud pada ayat (3) menggunakan data yang

bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang

Statistik.

(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan

upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (3)

dan syarat tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat

(4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

SISIPAN BARU

28

88D

-

(1) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal

88C ayat (1) dan ayat (2) dihitung dengan

menggunakan formula perhitungan upah minimum.

(2) Formula perhitungan upah minimum sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) memuat variabel

pertumbuhan ekonomi atau inflasi.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai formula perhitungan

upah minimum diatur dalam Peraturan Pemerintah

SISIPAN BARU

29

88E

-

(1) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal

88C ayat (1) dan ayat (2) berlaku bagi pekerja/buruh

dengan masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun pada

perusahaan yang bersangkutan.

(2) Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah

dari upah minimum.

SISIPAN BARU

30

89

(1) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88

ayat (3) huruf a dapat terdiri atas:

a. upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau

kabupaten/kota;

 

b. upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah

provinsi atau kabupaten/kota;

(2) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup layak.

(3) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan

rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau

Bupati/Walikota.

(4) Komponen serta pelaksanaan tahapan pencapaian

kebutuhan hidup layak sebagaimana dimaksud dalam

ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.

-

DIHAPUS

31

90

(1) Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah

minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89.

(2) Bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah

minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 dapat

dilakukan penangguhan.

(3) Tata cara penangguhan sebagaimana dimaksud dalam

ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.

-

DIHAPUS

32

90A

-

Upah di atas upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh di perusahaan

SISIPAN BARU

33

90B

-

(1) Ketentuan upah minimum sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 88C ayat (1) dan ayat (2) dikecualikan

bagi Usaha Mikro dan Kecil.

(21 Upah pada Usaha Mikro dan Kecil ditetapkan

berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan

pekerja/ buruh di perusahaan.

(3) Kesepakatan upah sebagaimana dimaksud pada ayat

(2) sekurang-kurangnya sebesar persentase tertentu

dari rata-rata konsumsi masyarakat berdasarkan

data yang bersumber dari lembaga yang berwenang di

bidang statistik.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai upah bagi Usaha

Mikro dan Kecil diatur dalam Peraturan Pemerintah.

SISIPAN BARU

34

91

(1) Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan

antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat

pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari

ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

(2) Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi

hukum, dan pengusaha wajib membayar upah

pekerja/buruh menurut peraturan perundang-undangan

yang berlaku.

-

DIHAPUS

35

92

(1) Pengusaha menyusun struktur dan skala upah dengan

memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan,

dan kompetensi.

(2) Pengusaha melakukan peninjauan upah secara berkala

dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan

produktivitas.

(3) Ketentuan mengenai struktur dan skala upah sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.

(1) Pengusaha wajib men5rusun struktur dan skala upah

di perusahaan dengan memperhatikan kemampuan

perusahaan dan produktivitas.

(2) Struktur dan skala upah digunakan sebagai pedoman

pengusaha dalam menetapkan upah.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai struktur dan skala

upah diatur dalam Peraturan Pemerintah.

DIUBAH

36

92A

-

Pengusaha melakukan peninjauan upah secara berkala

dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan

Produktivitas.

SISIPAN BARU

37

94

Dalam hal komponen upah terdiri dari upah pokok dan

tunjangan tetap maka besarnya upah pokok sedikit – dikitnya

75 % ( tujuh puluh lima perseratus ) dari jumlah upah pokok

dan tunjangan tetap

Dalam hal komponen upah terdiri atas upah pokok dan

tunjangan tetap, besarnya upah pokok paling sedikit 75%

(tujuh puluh lima persen) dari jumlah upah pokok dan

tunjangan tetap.

 

DIUBAH

38

95

(1) Pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja/buruh karena

kesengajaan atau kelalaiannya dapat dikenakan denda.

(2) Pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya

mengakibatkan keterlambatan pembayaran upah, dikenakan

denda sesuai dengan persentase tertentu dari upah

pekerja/buruh.

(3) Pemerintah mengatur pengenaan denda kepada pengusaha

dan/atau pekerja/buruh, dalam pembayaran upah.

(4) Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,

maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh

merupakan utang yang didahulukan pembayarannya.

(1)  Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau

dilikuidasi berdasarkan ketentuan peraturan

perundang-undangan, upah dan hak lainnya yang

belum diterima oleh pekerja/buruh merupakan utang

yang didahulukan pembayarannya.

(2)  Upah pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) didahulukan pembayarannya sebelum

pembayaran kepada semua kreditur.

(3)  Hak lainnya dari pekerja/buruh sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) didahulukan pembayarannya

atas semua kreditur kecuali para kreditur pemegang

hak jaminan kebendaan.

DIUBAH

39

96

Tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala

pembayaran yang timbul dari hubungan kerja menjadi

kedaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun

sejak timbulnya hak.

-

DIHAPUS

40

97

Ketentuan mengenai penghasilan yang layak, kebijakan

pengupahan, kebutuhan hidup layak, dan perlindungan

pengupahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88, penetapan

upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89, dan

pengenaan denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95

ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan

Pemerintah.

-

DIHAPUS

41

98

(1) Untuk memberikan saran, pertimbangan, dan merumuskan

kebijakan pengupahan yang akan ditetapkan oleh

pemerintah, serta untuk pengembangan sistem pengupahan

nasional dibentuk Dewan Pengupahan Nasional, Provinsi,

dan Kabupaten/Kota.

(2) Keanggotaan Dewan Pengupahan sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1) terdiri dari unsur pemerintah, organisasi

pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, perguruan tinggi,

dan pakar.

(3) Keanggotaan Dewan Pengupahan tingkat Nasional diangkat

dan diberhentikan oleh Presiden, sedangkan keanggotaan

Dewan Pengupahan Provinsi, Kabupaten/Kota diangkat dan

diberhentikan oleh Gubenur/Bupati/ Walikota.

(4) Ketentuan mengenai tata cara pembentukan, komposisi

keanggotaan, tata cara pengangkatan dan pemberhentian

keanggotaan, serta tugas dan tata kerja Dewan Pengupahan

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur

dengan Keputusan Presiden.

(1) Untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada

Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dalam

perumusan kebijakan pengupahan serta

pengembangan sistem pengupahan dibentuk dewan

pengupahan.

(21 Dewan pengupahan terdiri atas unsur Pemerintah,

organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh,

pakar, dan akademisi.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara

pembentukan, komposisi keanggotaan, tata cara

pengangkatan dan pemberhentian keanggotaan, serta

tugas dan tata kerja dewan pengupahan diatur dalam

Peraturan Pemerintah.

DIUBAH

42

151

(1) Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh,

dan pemerintah, dengan segala upaya harus

mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan

kerja.

(2) Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan

hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud

pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh

pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan

pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan

tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.

(3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam

ayat (2) benar-benar tidak menghasilkan persetujuan,

pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja

dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari

lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

(1) Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerjalserikat

buruh, dan Pemerintah harus mengupayakan agar

tidak terjadi pemutusan hubungan kerja.

(2) Dalam hal pemutusan hubungan kerja tidak dapat

dihindari, maksud dan alasan pemutusan hubungan

kerja diberitahukan oleh pengusaha kepada

pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat

buruh.

(3) Dalam hal pekerja/buruh telah diberitahu dan

menolak pemutusan hubungan kerja, penyelesaian

pemutusan hubungan kerja wajib dilakukan melalui

perundingan bipartit antara pengusaha dengan

pekerja/buruh dan/atau serikat pekerjalserikat

buruh.

(41 Dalam hal perundingan bipartit sebagaimana

dimaksud pada ayat (3) tidak mendapatkan

kesepakatan, pemutusan hubungan kerja dilakukan

melalui tahap berikutnya sesuai dengan mekanisme

penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

DIUBAH

43

151A

-

Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151

ayat (2) tidak perlu dilakukan oleh pengusaha dalam hal:

a. pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan

sendiri;

b. pekerja/buruh dan pengusaha berakhir hubungan

kerjanya sesuai dengan perjanjian kerja waktu

tertentu;

c. pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan

perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau

perjanjian kerja bersama; atau

d. pekerja/buruh meninggal dunia.

 

SISIPAN BARU

44

152

(1) Permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja

diajukan secara tertulis kepada lembaga penyelesaian

perselisihan hubungan industrial disertai alasan yang

menjadi dasarnya.

(2) Permohonan penetapan sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) dapat diterima oleh lembaga penyelesaian

perselisihan hubungan industrial apabila telah

dirundingkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151

ayat (2).

(3) Penetapan atas permohonan pemutusan hubungan kerja

hanya dapat diberikan oleh lembaga penyelesaian

perselisihan hubungan industrial jika ternyata maksud

untuk memutuskan hubungan kerja telah dirundingkan,

tetapi perundingan tersebut tidak menghasilkan

Kesepakatan

-

DIHAPUS

45

153

(1) Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja

dengan alasan:

a. pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit

menurut keterangan dokter selama waktu tidak

melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus;

b. pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya

karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku;

c. pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan

agamanya;

 

d. pekerja/buruh menikah;

e. pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur

kandungan, atau menyusui bayinya;

f. pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau

ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di

dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam

perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian

kerja bersama;

g. pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau

pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh

melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di

luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas

kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan

yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan

perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;

h. pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada

yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang

melakukan tindak pidana kejahatan;

i. karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku,

warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau

status perkawinan;

j. pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat

kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja

yang menurut surat keterangan dokter yang jangka

waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.

(2) Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) batal demi hukum

dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali

pekerja/buruh yang bersangkutan.

(1) Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan

kerja kepada pekerja/buruh dengan alasan:

a- berhalangan masuk kerja karena sakit menurut

keterangan dokter selama waktu tidak melampaui

12 (dua belas) bulan secara terus-menerus;

b. berhalangan menjalankan pekerjaannya karena

memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai

 

dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan;

 

c. menjalankan ibadah yang diperintahkan

agamanya;

d. menikah;

e. hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau

men5rusui bayinya;

f. mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan

perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di

dalam satu perusahaan;

g. mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengururs

serikat pekerjalserikat buruh, pekerja/buruh

melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh

di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas

kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan

ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja,

peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja

bersama;

h. mengadukan pengusaha kepada pihak yang

berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang

melakukan tindak pidana kejahatan;

i. berbeda paham, agama, aliran politik, suku,

warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik,

atau status perkawinan; dan

j. dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat

kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan

kerja yang menurut surat keterangan dokter yang

jangka waktu penyembuhannya belum dapat

dipastikan.

(2) Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan

alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) batal demi

hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali

pekerja/ buruh yang bersangkutan.

DIUBAH

46

154

Penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3)

tidak diperlukan dalam hal:

a. pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja,

bilamana telah dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya;

b. pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri,

secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi

adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya

hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu

tertentu untuk pertama kali;

c. pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan

ketetapan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan,

 

perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-

undangan; atau

 

d. pekerja/buruh meninggal dunia.

-

DIHAPUS

47

154A

-

(1) Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena

alasan:

 

a- perusahaan melakukan penggabungan,

peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan

perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia

melanjutkan hubungan kerja atau pengusaha

tidak bersedia menerima pekerja/buruh;

b. perusahaan melakukan efisiensi diikuti dengan

penutupan perusahaan atau tidak diikuti dengan

penutupan perusahaan yang disebabkan

perusahaan mengalami kerugian;

c. perusahaan tutup yang disebabkan karena

perusahaan mengalami kerugian secara terus

menerus selama 2 (dua) tahun;

d. perusahaan tutup yang disebabkan keadaan

memaksa (force majeur) .

e. perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban

pembayaran utang;

f. perusahaan pailit;

g. adanya permohonan pemutusan hubungan kerja

yang diajukan oleh pekerja/buruh dengan alasan

pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut:

1. menganiaya, menghina secara kasar atau

mengancam pekerja/ buruh;

2. membujuk dan/atau menyuruh

pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan

yang bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan;

3. tidak membayar upah tepat pada waktu yang

telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan

berturut-turut atau lebih, meskipun

pengusaha membayar upah secara tepat

waktu sesudah itu;

4. tidak melakukan kewajiban yang telah

dijanjikan kepada pekerja/ buruh;

5. memerintahkan pekerja/buruh untuk

melaksanakan pekerjaan di luar yang

diperjanjikan; atau

6. memberikan pekerjaan yang membahayakan

jiwa, keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan

pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut

tidak dicantumkan pada perjanjian kerja;

h. adanya putusan lembaga penyelesaian

perselisihan hubungan industrial yang

menyatakan pengusaha tidak melakukan

perbuatan sebagaimana dimaksud pada huruf g

terhadap permohonan yang diajukan oleh

pekerja/buruh dan pengusaha memutuskan

untuk melakukan pemutusan hubungan kerja;

i. pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan

sendiri dan harus memenuhi syarat:

1. mengajukan permohonan pengunduran diri

secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga

puluh) hari sebelum tanggal mulai

pengunduran diri;

2. tidak terikat dalam ikatan dinas; dan

3. tetap melaksanakan kewajibannya sampai

tanggal mulai pengunduran diri;

j. pekerja/buruh mangkir selama 5 (lima) hari kerja

atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara

tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah

dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali

secara patut dan tertulis;

k pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan

yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan

perusahaan, atau perjanjian kerja bersama dan

sebelumnya telah diberikan surat peringatan

pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut

masing-masing berlaku untuk paling lama 6

(enam) bulan kecuali ditetapkan lain dalam

perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau

perjanjian kerja bersama;

1. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaan

selama 6 (enam) bulan akibat ditahan pihak yang

berwajib karena diduga melakukan tindak pidana;

m. pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan

atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak

dapat melakukan pekerjaannya setelah

melampaui batas 12 (dua belas) bulan;

n. pekerja/buruh memasuki usia pensiun; atau

o. pekerja/buruh meninggal dunia.

(2) Selain alasan pemutusan hubungan kerja

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat ditetapkan

alasan pemutusan hubungan kerja lainnya dalam

perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau

perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 61 ayat (1).

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemutusan

hubungan kerja diatur dalam Peraturan Pemerintah.

SISIPAN BARU

48

155

(1) Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) batal demi hukum.

(2) Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan

hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha

maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala

kewajibannya.

(3) Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa

tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam

proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib

membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima

pekerja/buruh.

-

DIHAPUS

49

156

(1) Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha

diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang

penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang

seharusnya diterima.

(2) Perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) paling sedikit sebagai berikut:

a. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan

upah;

b. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2

(dua) tahun, 2 (dua) bulan upah;

c. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3

(tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah;

d. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4

(empat) tahun, 4 (empat) bulan upah;

e. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang

dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah;

f. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6

(enam) tahun, 6 (enam) bulan upah;

g. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari

7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah.

h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari

8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah;

i. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan)

bulan upah.

(3) Perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan sebagai berikut :

a. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6

(enam) tahun, 2 (dua) bulan upah;

b. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari

9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah;

c. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang

dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan upah;

d. masa kerja 12 (duabelas) tahun atau lebih tetapi kurang

dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah;

e. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang

dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah;

 

f. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi

kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan

upah;

g. masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi

kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan)

bulan upah;

h. masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10

(sepuluh ) bulan upah.

(4) Uang penggantian hak yang seharusnya diterima

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:

a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;

b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan

keluarganya ketempat dimana pekerja/buruh diterima

bekerja;

c. penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan

ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari uang

pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi

yang memenuhi syarat;

d. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja,

peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

(5) Perubahan perhitungan uang pesangon, perhitungan uang

penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak

sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)

ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

(1) Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja,

pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau

uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian

hak yang seharusnya diterima.

(2) Uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:

a- masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu)

bulan upah;

b. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang

dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah;

c. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang

dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah;

d. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang

dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah;

e. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi

kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah;

f. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi

kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah;

g. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi

kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;

h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi

kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan

upah;

i. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9

(sembilan) bulan upah.

 

(3) Uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) diberikan dengan ketentuan sebagai

berikut:

a- masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang

dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah;

b. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi

kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan

upah;

c. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi

kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan

upah;

d. masa kerja 12 (duabelas) tahun atau lebih tetapi

kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan

upah;

e. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi

kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam)

bulan upah;

f. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih

tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7

(tujuh) bulan upah;

g. masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih

tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8

(delapan) bulan upah;

h. masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau

lebih, 10 (sepuluh) bulan upah.

 

(4) Uang penggantian hak yang seharusnya diterima

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a- cuti tahunan yang belum diambil dan belum

gugur;

b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh

dan keluarganya ke tempat pekerja/buruh

diterima bekerja;

c. hal-haI lain yang ditetapkan dalam perjanjian

kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian

kerja bersama.

 

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian uang

pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang

penggantian hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2),

ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan

Pemerintah.

DIUBAH

50

157

(1) Komponen upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan

uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang

pengganti hak yang seharusnya diterima yang tertunda,

terdiri atas:

a. upah pokok;

b. segala macam bentuk tunjangan yang bersifat tetap

yang diberikan kepada pekerja/buruh dan keluarganya,

termasuk harga pembelian dari catu yang diberikan

kepada pekerja/buruh secara cuma-cuma, yang apabila

catu harus dibayar pekerja/buruh dengan subsidi,

maka sebagai upah dianggap selisih antara harga

pembelian dengan harga yang harus dibayar oleh

pekerja/buruh.

(2) Dalam hal penghasilan pekerja/buruh dibayarkan atas

dasar perhitungan harian, maka penghasilan sebulan

adalah sama dengan 30 kali penghasilan sehari.

(3) Dalam hal upah pekerja/buruh dibayarkan atas dasar

perhitungan satuan hasil, potongan/borongan atau komisi,

maka penghasilan sehari adalah sama dengan pendapatan

rata-rata per hari selama 12 (dua belas) bulan terakhir,

dengan ketentuan tidak boleh kurang dari ketentuan upah

minimum provinsi atau kabupaten/kota.

 

(4) Dalam hal pekerjaan tergantung pada keadaan cuaca dan

upahnya didasarkan pada upah borongan, maka

perhitungan upah sebulan dihitung dari upah rata-rata 12

(dua belas) bulan terakhir.

(1) Komponen upah yang digunakan sebagai dasar

perhitungan uang pesangon dan uang penghargaan

masa kerja terdiri atas:

a- upah pokok; dan

b. tunjangan tetap yang diberikan kepada

pekerja/ buruh dan keluarganya.

 

(2) Dalam hal penghasilan pekerja/buruh dibayarkan atas

dasar perhitungan harian, upah sebulan sama dengan

30 (tiga puluh) dikalikan upah sehari.

(3) Dalam hal upah pekerja/buruh dibayarkan atas dasar

perhitungan satuan hasil, upah sebulan sama dengan

penghasilan rata-rata dalam 12 (dua belas) bulan

terakhir.

(4) Dalam hal upah sebulan sebagaimana dimaksud pada

ayat (3) lebih rendah dari upah minimum, upah yang

menjadi dasar perhitungan pesangon adalah upah

minimum yang berlaku di wilayah domisili

perusahaan.

 

DIUBAH

51

157A

-

(1) Selama penyelesaian perselisihan hubungan industrial,

pengusaha dan pekerja/buruh harus tetap

melaksanakan kewaj ibannya.

(2) Pengusaha dapat melakukan tindakan skorsing kepada

pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan

hubungan kerja dengan tetap membayar upah beserta

hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.

(3) Pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dilakukan sampai dengan selesainya proses

penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai

tingkatannya.

 

SISIPAN BARU

52

158

(1) Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap

pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah

melakukan kesalahan berat sebagai berikut:

a. melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan

barang dan/atau uang milik perusahaan;

b. memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan

sehingga merugikan perusahaan;

c. mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan,

memakai dan/atau mengedarkan narkotika,

psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan

kerja;

d. melakukan perbuatan asusila atau perjudian di

lingkungan kerja;

e. menyerang, menganiaya, mengancam, atau

mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di

lingkungan kerja;

f. membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk

melakukan perbuatan yang bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan;

g. dengan ceroboh atau sengaja merusak atau

membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik

perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi

perusahaan;

h. dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman

sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di

tempat kerja;

i. membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan

yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk

kepentingan negara; atau

j. melakukan perbuatan lainnya di lingkungan

perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun

atau lebih.

(2) Kesalahan berat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

harus didukung dengan bukti sebagai berikut:

a. pekerja/buruh tertangkap tangan;

b. ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan;

atau

c. bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh

pihak yang berwenang di perusahaan yang

bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2

(dua) orang saksi.

 

(3) Pekerja/buruh yang diputus hubungan kerjanya

berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),

dapat memperoleh uang penggantian hak sebagai dimaksud

dalam Pasal 156 ayat (4).

(4) Bagi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan

pengusaha secara langsung, selain uang penggantian hak

sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) diberikan uang pisah

yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian

kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja

bersama.

-

DIHAPUS

53

159

Apabila pekerja/buruh tidak menerima pemutusan hubungan

kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (1),

pekerja/buruh yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan

ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

-

DIHAPUS

54

160

(1) Dalam hal pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib

karena diduga melakukan tindak pidana bukan atas

pengaduan pengusaha, maka pengusaha tidak wajib

membayar upah tetapi wajib memberikan bantuan kepada

keluarga pekerja/buruh yang menjadi tanggungannya

dengan ketentuan sebagai berikut:

a. untuk 1 (satu) orang tanggungan : 25% (dua puluh lima

perseratus) dari upah;

b. untuk 2 (dua) orang tanggungan : 35% (tiga puluh lima

perseratus) dari upah;

c. untuk 3 (tiga) orang tanggungan : 45% (empat puluh

lima perseratus) dari upah;

d. untuk 4 (empat) orang tanggungan atau lebih : 50% (lima

puluh perseratus) dari upah.

(2) Bantuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan

untuk paling lama 6 (enam) bulan takwin terhitung sejak

hari pertama pekerja/buruh ditahan oleh pihak yang

berwajib.

(3) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja

terhadap pekerja/buruh yang setelah 6 (enam) bulan tidak

dapat melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya karena

dalam proses perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1).

(4) Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana

sebelum masa 6 (enam) bulan sebagaimana dimaksud

dalam ayat (3) berakhir dan pekerja/buruh dinyatakan

tidak bersalah, maka pengusaha wajib mempekerjakan

pekerja/buruh kembali.

(5) Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana

sebelum masa 6 (enam) bulan berakhir dan pekerja/buruh

dinyatakan bersalah, maka pengusaha dapat melakukan

pemutusan hubungan kerja kepada pekerja/buruh yang

bersangkutan.

 

(6) Pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam

ayat (3) dan ayat (5) dilakukan tanpa penetapan lembaga

penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

(7) Pengusaha wajib membayar kepada pekerja/buruh yang

mengalami pemutusan hubungan kerja sebagaimana

dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (5), uang penghargaan

masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan

uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156

ayat (4).

(1) Dalam hal pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib

karena diduga melakukan tindak pidana, pengusaha

tidak wajib membayar upah, tetapi wajib memberikan

bantuan kepada keluarga pekerja/buruh yang menjadi

tanggungannya dengan ketentuan sebagai berikut:

a- untuk 1 (satu) orang tanggungan,25% (dua puluh

lima persen) dari upah;

b. untuk 2 (dua) orang tanggungan, 35% (tiga puluh

lima persen) dari upah;

c. untuk 3 (tiga) orang tanggungan, 45% (empat

puluh lima persen) dari upah;

d. untuk 4 (empat) orang tanggungan atau lebih,

50% (lima puluh persen) dari upah.

 

(2) Bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diberikan untuk paling lama 6 (enam) bulan terhitung

sejak hari pertama pekerja/buruh ditahan oleh pihak

yang berwajib.

(3) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan

kerja terhadap pekerja/buruh yang setelah 6 (enam)

bulan tidak dapat melakukan pekerjaan sebagaimana

mestinya karena dalam proses perkara pidana

sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(4) Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana

sebelum masa 6 (enam) bulan sebagaimana dimaksud

pada ayat (3) berakhir dan pekerja/buruh dinyatakan

tidak bersalah, pengusaha wajib mempekerjakan

pekerja/ buruh kembali.

(5) Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana

sebelum masa 6 (enam) bulan berakhir dan

pekerja/buruh dinyatakan bersalah, pengusaha dapat

melakukan pemutusan hubungan kerja kepada

pekerja/ buruh yang bersangkutan.

DIUBAH

55

161

(1) Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran

ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan

perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha

dapat melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah

kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat

 

peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-

turut.

 

(2) Surat peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan,

kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan

perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

(3) Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja

dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

memperoleh uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan

Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1

(satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang

penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

-

DIHAPUS

56

162

(1) Pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan

sendiri, memperoleh uang penggantian hak sesuai

ketentuan Pasal 156 ayat (4).

(2) Bagi pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan

sendiri, yang tugas dan fungsinya tidak mewakili

kepentingan pengusaha secara langsung, selain menerima

uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4)

diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya

diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau

perjanjian kerja bersama.

(3) Pekerja/buruh yang mengundurkan diri sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat :

a. mengajukan permohonan pengunduran diri secara

tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari

sebelum tanggal mulai pengunduran diri;

b. tidak terikat dalam ikatan dinas; dan

c. tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal

mulai pengunduran diri.

 

(4) Pemutusan hubungan kerja dengan alasan pengunduran diri

atas kemauan sendiri dilakukan tanpa penetapan lembaga

penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

-

DIHAPUS

57

163

(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja

terhadap pekerja/buruh dalam hal terjadi perubahan

status, penggabungan, peleburan, atau perubahan

kepemilikan perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia

melanjutkan hubungan kerja, maka pekerja/buruh berhak

atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali sesuai ketentuan

Pasal 156 ayat (2), uang perhargaan masa kerja 1 (satu)

kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian

hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).

(2) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja

terhadap pekerja/buruh karena perubahan status,

penggabungan, atau peleburan perusahaan, dan

pengusaha tidak bersedia menerima pekerja/buruh di

perusahaannya, maka pekerja/buruh berhak atas uang

pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2),

uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan

dalam Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai

ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).

-

DIHAPUS

58

164

(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja

terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang

disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus

menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa

(force majeur), dengan ketentuan pekerja/buruh berhak

atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal

156 ayat (2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu)

kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian

hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

(2) Kerugian perusahaan sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) harus dibuktikan dengan laporan keuangan 2 (dua)

tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik.

(3) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja

terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan

karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut

atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi

perusahaan melakukan efisiensi, dengan ketentuan

pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua)

kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa

kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan

uang penggantian hak sesuai sesuai ketentuan Pasal 156

ayat (4).

-

DIHAPUS

59

165

Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja

terhadap pekerja/buruh karena perusahaan pailit, dengan

ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1

(satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan

masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3)

dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

-

DIHAPUS

60

166

Dalam hal hubungan kerja berakhir karena pekerja/buruh

meninggal dunia, kepada ahli warisnya diberikan sejumlah

uang yang besar perhitungannya sama dengan perhitungan 2

(dua) kali uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), 1

(satu) kali uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan

Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan

Pasal 156 ayat (4).

-

DIHAPUS

61

167

(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja

terhadap pekerja/buruh karena memasuki usia pensiun

dan apabila pengusaha telah mengikutkan pekerja/buruh

pada program pensiun yang iurannya dibayar penuh oleh

pengusaha, maka pekerja/buruh tidak berhak

mendapatkan uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156

ayat (2), uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan

Pasal 156 ayat (3), tetapi tetap berhak atas uang

penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

(2) Dalam hal besarnya jaminan atau manfaat pensiun yang

diterima sekaligus dalam program pensiun sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) ternyata lebih kecil daripada

jumlah uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156

ayat (2) dan uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali

ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak

sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4), maka selisihnya

dibayar oleh pengusaha.

(3) Dalam hal pengusaha telah mengikutsertakan

pekerja/buruh dalam program pensiun yang

iurannya/preminya dibayar oleh pengusaha dan

pekerja/buruh, maka yang diperhitungkan dengan uang

pesangon yaitu uang pensiun yang premi/iurannya dibayar

oleh pengusaha.

(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),

dan ayat (3) dapat diatur lain dalam perjanjian kerja,

peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

 

(5) Dalam hal pengusaha tidak mengikutsertakan

pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja

karena usia pensiun pada program pensiun maka

pengusaha wajib memberikan kepada pekerja/buruh uang

pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2),

uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal

156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan

Pasal 156 ayat (4).

(6) Hak atas manfaat pensiun sebagaimana yang dimaksud

dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) tidak

menghilangkan hak pekerja/buruh atas jaminan hari tua

 

yang bersifat wajib sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

-

DIHAPUS

62

168

(1) Pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau

lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang

dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh

pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat

diputus hubungan kerjanya karena dikualifikasikan

mengundurkan diri.

(2) Keterangan tertulis dengan bukti yang sah sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) harus diserahkan paling lambat

pada hari pertama pekerja/buruh masuk bekerja.

(3) Pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) pekerja/buruh yang bersangkutan berhak

menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal

156 ayat (4) dan diberikan uang pisah yang besarnya dan

pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan

perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

-

DIHAPUS

63

169

(1) Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan

hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan

hubungan industrial dalam hal pengusaha melakukan

perbuatan sebagai berikut:

a. menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam

pekerja/buruh;

b. membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk

melakukan perbuatan yang bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan;

c. tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah

ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau

lebih;

d. tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan

kepada pekerja/buruh;

e. memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan

pekerjaan di luar yang diperjanjikan; atau

 

f. memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa,

keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan pekerja/buruh

sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada

perjanjian kerja.

(2) Pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) pekerja/buruh berhak mendapat

uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2),

uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan

Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai

ketentuan Pasal 156 ayat (4).

(3) Dalam hal pengusaha dinyatakan tidak melakukan

perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) oleh

lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial

maka pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan

kerja tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan

hubungan industrial dan pekerja/buruh yang bersangkutan

tidak berhak atas uang pesangon sesuai ketentuan

Pasal 156 ayat (2), dan uang penghargaan masa kerja

sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3).

-

DIHAPUS

64

170

Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan tidak memenuhi

ketentuan Pasal 151 ayat (3) dan Pasal 168, kecuali Pasal

158 ayat (1), Pasal 160 ayat (3), Pasal 162, dan Pasal 169

batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan

pekerja/buruh yang bersangkutan serta membayar seluruh

upah dan hak yang seharusnya diterima.

-

DIHAPUS

65

171

Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja

tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan

industrial yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 158 ayat (1), Pasal 160 ayat (3), dan Pasal 162, dan

pekerja/buruh yang bersangkutan tidak dapat menerima

pemutusan hubungan kerja tersebut, maka pekerja/buruh

dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian

perselisihan hubungan industrial dalam waktu paling lama 1

(satu) tahun sejak tanggal dilakukan pemutusan hubungan

kerjanya.

-

DIHAPUS

66

172

Pekerja/buruh yang mengalami sakit berkepanjangan,

mengalami cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat

melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua

belas) bulan dapat mengajukan pemutusan hubungan kerja

dan diberikan uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156

ayat (2), uang penghargaan masa kerja 2 (dua) kali ketentuan

Pasal 156 ayat (3), dan uang pengganti hak 1 (satu) kali

ketentuan Pasal 156 ayat (4).

-

DIHAPUS

67

184

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 167 ayat (5), dikenakan sanksi pidana

penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5

(lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp

100.000.000.00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak

Rp 500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah).

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

merupakan tindak pidana kejahatan.

-

DIHAPUS

68

185

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 68, Pasal 69

ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 90 ayat (1), Pasal 143,

dan Pasal 160 ayat (4) dan ayat (7), dikenakan sanksi

pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling

lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp

100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp

400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).

 

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

merupakan tindak pidana kejahatan.

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2), Pasal 68, Pasal 69

ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 88A ayat (3), Pasal

88E ayat (2), Pasal 143, Pasal 156 ayat (1), atau Pasal

160 ayat (4) dikenai sanksi pidana penjara paling

singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun

dan/atau denda paling sedikit Rp10O.0OO.000,00

(seratus juta rupiah) dan paling banyak

Rp400.000.000,0O (empat ratus juta rupiah).

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

merupakan tindak pidana kejahatan.

DIUBAH

69

186

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 35 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 93 ayat (2),

Pasal 137, dan Pasal 138 ayat (1), dikenakan sanksi pidana

penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4

(empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp

10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak

Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

merupakan tindak pidana pelanggaran.

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) atau ayat (3), atau

Pasal 93 ayat (21, dikenakan sanksi pidana penjara

paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat)

tahun dan/atau denda paling sedikit Rp10.000.000,00

(sepuluh juta rupiah) dan paling banyak

Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).

(21 Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

merupakan tindak pidana pelanggaran.

DIUBAH

70

187

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 37 ayat (2), Pasal 44 ayat (1), Pasal 45 ayat (1),

Pasal 67 ayat (1), Pasal 71 ayat (2), Pasal 76, Pasal 78 ayat

(2), Pasal 79 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 85 ayat (3), dan

Pasal 144, dikenakan sanksi pidana kurungan paling

singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas)

bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,00

(sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp

100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

merupakan tindak pidana pelanggaran.

Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1), Pasal 67 ayat (1),

Pasal 7l ayat (2), Pasal 76, Pasal 78 ayat(2),Pasal79

ayat (1), ayat (2), atau ayat (3), Pasal 85 ayat (3), atau

Pasal 144 dikenai sanksi pidana kurungan paling

singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas)

bulan dan/atau denda paling sedikit Rp10.0OO.OO0,00

(sepuluh juta rupiah) dan paling banyak

Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

merupakan tindak pidana pelanggaran.

 

DIUBAH

71

188

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 14 ayat (2), Pasal 38 ayat (2), Pasal 63 ayat

(1), Pasal 78 ayat (1), Pasal 108 ayat (1), Pasal 111 ayat (3),

Pasal 114, dan Pasal 148, dikenakan sanksi pidana denda

paling sedikit Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling

banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

merupakan tindak pidana pelanggaran.

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2), Pasal 63 ayat (1),

Pasal 78 ayat (1), Pasal 108 ayat (1), Pasal 111 ayat (3),

Pasal 114, atau Pasal 148 dikenai sanksi pidana denda

paling sedikit Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan

paling banyak Rp5O.O00.0OO,OO (lima puluh juta

rupiah).

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

merupakan tindak pidana pelanggaran.

 

DIUBAH

72

190

(1) Menteri atau pejabat yang ditunjuk mengenakan sanksi

administratif atas pelanggaran ketentuan-ketentuan

sebagaimana diatur dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 15,

Pasal 25, Pasal 38 ayat (2), Pasal 45 ayat (1), Pasal 47 ayat

(1), Pasal 48, Pasal 87, Pasal 106, Pasal 126 ayat (3), dan

Pasal 160 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang ini serta

peraturan pelaksanaannya.

(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

berupa :

a. teguran;

b. peringatan tertulis;

c. pembatasan kegiatan usaha;

d. pembekuan kegiatan usaha;

e. pembatalan persetujuan;

f. pembatalan pendaftaran;

g. penghentian sementara sebahagian atau seluruh alat

produksi;

h. pencabutan ijin.

(3) Ketentuan mengenai sanksi administratif sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut

oleh Menteri.

(1) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai

kewenangannya mengenakan sanksi administratif atas

pelanggaran ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur

dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 14 ayat (1), Pasal 15,

Pasal 25, Pasal 37 ayat (2), Pasal 38 ayat (21, Pasal 42

ayat (1), Pasal 47 ayat (1), Pasal 61A, Pasal 66 ayat (41,

Pasal 87, Pasal 92, Pasal 106, Pasal 126 ayat (3), atau

Pasal 160 ayat (1) atau ayat (2) undang-undang ini

serta peraturan pelaksanaannya.

(21 Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam

Peraturan Pemerintah.

 

DIUBAH

73

PASAL 191A

-

Pada saat berlakunya Undang-Undang ini:

a. untuk pertama kali upah minimum yang berlaku, yaitu

upah minimum yang telah ditetapkan berdasarkan

peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur

mengenai pengupahan.

b. bagi perusahaan yang telah memberikan upah lebih

tinggi dari upah minimum yang ditetapkan sebelum

Undang-Undang ini, pengusaha dilarang mengurangi

atau menurunkan upah.

SISIPAN BARU


    Demikian resume perubahan tersebut, semoga bermanfaat. 


Sumber :
UU No. 13 Tahun 2003
UU No. 11 Tahun 2020