NO |
PASAL (UU 13 2003) |
UU 13 2003 |
UU 11 2020 |
BENTUK PERUBAHAN |
1 |
13 |
(1) Pelatihan kerja diselenggarakan oleh
lembaga pelatihan kerja pemerintah dan/atau lembaga
pelatihan kerja swasta. (2) Pelatihan kerja dapat diselenggarakan
di tempat pelatihan atau tempat kerja. (3) Lembaga pelatihan kerja pemerintah
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam
menyelenggarakan pelatihan kerja dapat bekerja sama dengan
swasta. |
Pelatihan kerja diselenggarakan oleh: a- lembaga pelatihan kerja pemerintah; b. lembaga pelatihan kerja swasta; atau c. lembaga pelatihan kerja perusahaan. (21 Pelatihan kerja dapat diselenggarakan
di tempat pelatihan atau tempat kerja. (3) Lembaga pelatihan kerja pemerintah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dalam menyelenggarakan pelatihan kerja dapat
bekerja sama dengan swasta. (4) Lembaga pelatihan kerja pemerintah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan
lembaga pelatihan kerja perusahaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c mendaftarkan
kegiatannya kepada instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan di kabupaten/ kota. |
DIUBAH |
2 |
14 |
(1) Lembaga pelatihan kerja swasta dapat
berbentuk badan hukum Indonesia atau perorangan. (2) Lembaga pelatihan kerja swasta
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memperoleh izin atau
mendaftar ke instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan di kabupaten/kota. (3) Lembaga pelatihan kerja yang diselenggarakan
oleh instansi pemerintah mendaftarkan kegiatannya
kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan di kabupaten/kota.
(4) Ketentuan mengenai tata cara
perizinan dan pendaftaran lembaga pelatihan kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan
Keputusan Menteri. |
(1) Lembaga pelatihan kerja swasta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b
wajib memenuhi Perizinan Berusaha yang
diterbitkan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota. (2) Bagi lembaga pelatihan kerja swasta
yang terdapat penyertaan modal asing, Perizinan
Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diterbitkan oleh Pemerintah Pusat. (3) Perizinan Berusaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus memenuhi norma,
standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan
oleh Pemerintah Pusat. |
DIUBAH |
3 |
37 |
(1) Pelaksana penempatan tenaga kerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) terdiri dari : a. instansi pemerintah yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan; dan b. lembaga swasta berbadan hukum. (2) Lembaga penempatan tenaga kerja
swasta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b dalam
melaksanakan pelayanan penempatan tenaga kerja wajib
memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang
ditunjuk. |
(1) Pelaksana penempatan tenaga kerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) terdiri
atas: a instansi pemerintah yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan; dan b. lembaga penempatan tenaga kerja
swasta. (2) Lembaga penempatan tenaga kerja
swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b dalam melaksanakan pelayanan penempatan tenaga
kerja wajib memenuhi Perizinan Berusaha yang
diterbitkan oleh Pemerintah Pusat. (3) Perizinan Berusaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi norma, standar,
prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah
Pusat. |
DIUBAH |
4 |
42 |
(1) Setiap pemberi kerja yang
mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis dari
Menteri atau pejabat yang ditunjuk. (2) Pemberi kerja orang perseorangan
dilarang mempekerjakan tenaga kerja asing. (3) Kewajiban memiliki izin sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), tidak berlaku bagi perwakilan negara
asing yang mempergunakan tenaga kerja asing sebagai
pegawai diplomatik dan konsuler. (4) Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan
di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan
tertentu dan waktu tertentu. (5) Ketentuan mengenai jabatan tertentu
dan waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4)
ditetapkan dengan Keputusan Menteri. (6) Tenaga kerja asing sebagaimana
dimaksud dalam ayat (4) yang masa kerjanya habis dan tidak dapat
diperpanjang dapat digantikan oleh tenaga kerja asing
lainnya. |
(1) Setiap pemberi kerja yang
mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki rencana
penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan oleh
Pemerintah Pusat. (2) Pemberi kerja orang perseorangan
dilarang mempekerjakan tenaga kerja asing. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak berlaku bagi: a- direksi atau komisaris dengan
kepemilikan saham tertentu atau pemegang saham sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan; b. pegawai diplomatik dan konsuler pada
kantor perwakilan negara asing; atau c. tenaga kerja asing yang dibutuhkan
oleh pemberi kerja pada jenis kegiatan produksi yang
terhenti karena keadaan darurat, vokasi,
perusahaan rintisan (start-up) berbasis teknologi,
kunjungan bisnis, dan penelitian untuk jangka waktu tertentu. (4) Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan
di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan
tertentu dan waktu tertentu serta memiliki
kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki. (5) Tenaga kerja asing dilarang menduduki
jabatan yang mengurLlsi personalia. (6) Ketentuan mengenai jabatan tertentu
dan waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
DIUBAH |
5 |
43 |
(1) Pemberi kerja yang menggunakan tenaga
kerja asing harus memiliki rencana penggunaan tenaga kerja
asing yang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang
ditunjuk. (2) Rencana penggunaan tenaga kerja asing
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya
memuat keterangan: a. alasan penggunaan tenaga kerja asing; b. jabatan dan/atau kedudukan tenaga
kerja asing dalam struktur organisasi perusahaan yang
bersangkutan; c. jangka waktu penggunaan tenaga kerja
asing; dan d. penunjukan tenaga kerja warga negara
Indonesia sebagai pendamping tenaga kerja asing
yang dipekerjakan. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) tidak berlaku bagi instansi pemerintah,
badan-badan internasional dan perwakilan negara
asing. (4) Ketentuan mengenai tata cara
pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing diatur
dengan Keputusan Menteri. |
- |
DIHAPUS |
6 |
44 |
(1) Pemberi kerja tenaga kerja asing
wajib menaati ketentuan mengenai jabatan dan standar kompetensi
yang berlaku. (2) Ketentuan mengenai jabatan dan
standar kompetensi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diatur dengan Keputusan Menteri. |
- |
DIHAPUS |
7 |
45 |
(1) Pemberi kerja tenaga kerja asing
wajib: a. menunjuk tenaga kerja warga negara
Indonesia sebagai tenaga pendamping tenaga kerja asing yang dipekerjakan untuk alih teknologi dan
alih keahlian dari tenaga kerja asing; dan b. melaksanakan pendidikan dan pelatihan
kerja bagi tenaga kerja Indonesia sebagaimana
dimaksud pada huruf a yang sesuai dengan kualifikasi
jabatan yang diduduki oleh tenaga kerja asing. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kerja asing yang
menduduki jabatan direksi dan/atau komisaris. |
(1) Pemberi kerja tenaga kerja asing
wajib:
menunjuk tenaga kerja warga negara
Indonesia sebagai tenaga pendamping tenaga kerja
asing yang dipekerjakan untuk alih teknologi
dan alih keahlian dari tenaga kerja asing; b. melaksanakan pendidikan dan pelatihan
kerja bagi tenaga kerja Indonesia sebagaimana dimaksud pada huruf a yang sesuai dengan kualifikasi jabatan yang diduduki oleh
tenaga kerja asing; dan c. memulangkan tenaga kerja asing ke
negara asalnya setelah hubungan kerjanya
berakhir. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a dan huruf b tidak berlaku bagi
tenaga kerja asing yang menduduki jabatan tertentu. |
DIUBAH |
8 |
46 |
(1) Tenaga kerja asing dilarang menduduki
jabatan yang mengurusi personalia dan/atau
jabatan-jabatan tertentu. (2) Jabatan-jabatan tertentu sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri |
- |
DIHAPUS |
9 |
47 |
(1) Pemberi kerja wajib membayar
kompensasi atas setiap tenaga kerja asing yang dipekerjakannya. (2) Kewajiban membayar kompensasi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi
instansi pemerintah, perwakilan negara asing, badan-badan
internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan
jabatan-jabatan tertentu di lembaga pendidikan. (3) Ketentuan mengenai jabatan-jabatan
tertentu di lembaga pendidikan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri. (4) Ketentuan mengenai besarnya
kompensasi dan penggunaannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah. |
(1) Pemberi kerja wajib membayar
kompensasi atas setiap tenaga kerja asing yang
dipekerjakannya. (2) Kewajiban membayar kompensasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi
instansi pemerintah, perwakilan negara asing,
badan internasional, lembaga sosial, lembaga
keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga
pendidikan. (3) Ketentuan mengenai besaran dan
penggunaan kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
DIUBAH |
10 |
48 |
Pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga
kerja asing wajib memulangkan tenaga kerja asing ke negara
asalnya setelah hubungan kerjanya berakhir. |
- |
DIHAPUS |
11 |
49 |
Ketentuan mengenai penggunaan tenaga
kerja asing serta pelaksanaan pendidikan dan pelatihan
tenaga kerja pendamping diatur dengan Keputusan
Presiden. |
Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan tenaga kerja asing diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
DIUBAH |
12 |
56 |
(1) Perjanjian kerja dibuat untuk waktu
tertentu atau untuk waktu tidak tertentu. (2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan atas : a. jangka waktu; atau b. selesainya suatu pekerjaan tertentu |
(1) Perjanjian kerja dibuat untuk waktu
tertentu atau untuk waktu tidak tertentu. (2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas: a- jangka waktu; atau b. selesainya suatu pekerjaan tertentu. (3) Jangka waktu atau selesainya suatu
pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) ditentukan berdasarkan perjanjian kerja. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai
perjanjian kerja waktu tertentu berdasarkan jangka waktu
atau selesainya suatu pekerjaan tertentu
diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
DIUBAH |
13 |
57 |
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu
dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia
dan huruf latin. (2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu
yang dibuat tidak tertulis bertentangan dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dinyatakan
sebagai perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu. (3) Dalam hal perjanjian kerja dibuat
dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing, apabila kemudian
terdapat perbedaan penafsiran antara keduanya, maka yang
berlaku perjanjian kerja yang dibuat dalam bahasa Indonesia. |
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin. (2) Dalam hal perjanjian kerja waktu tertentu dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing, apabila kemudian terdapat perbedaan penafsiran antara keduanya, yang berlaku perjanjian kerja waktu tertentu yang dibuat dalam bahasa Indonesia.
|
DIUBAH |
14 |
58 |
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu
tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja. (2) Dalam hal disyaratkan masa percobaan
kerja dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), masa percobaan kerja yang disyaratkan
batal demi hukum. |
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja. (2) Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masa percobaan kerja yang disyaratkan tersebut batal demi hukum dan masa kerja tetap dihitung.
|
DIUBAH |
15 |
59 |
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu
hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut
jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam
waktu tertentu, yaitu: a. pekerjaan yang sekali selesai atau
yang sementara sifatnya; b. pekerjaaan yang diperkirakan
penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling
lama 3 (tiga) tahun; c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau d. pekerjaan yang berhubungan dengan
produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang
masih dalam percobaan atau penjajakan. (2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu
tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. (3) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu
dapat diperpanjang atau diperbaharui. (4) Perjanjian kerja waktu tertentu yang
didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan
untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang
1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu)
tahun. (5) Pengusaha yang bermaksud
memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu tersebut, paling
lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu
berakhir telah memberitahukan maksudnya secara tertulis
kepada pekerja/buruh yang bersangkutan. (6) Pembaruan perjanjian kerja waktu
tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang
waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja
waktu tertentu yang lama, pembaruan perjanjian kerja
waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan
paling lama 2 (dua) tahun. (7) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu
yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5),
dan ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu
tidak tertentu. (8) Hal-hal lain yang belum diatur dalam
pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri. |
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu
hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang
menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan
selesai dalam waktu tertentu, yaitu sebagai
berikut: a. pekerjaan yang sekali selesai atau
yang sementara sifatnya; b. pekerjaaan yang diperkirakan
penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama; c. pekerjaan yang bersifat musiman; d. pekerjaan yang berhubungan dengan
produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau
penjajakan; atau e. pekerjaan yang jenis dan sifat atau
kegiatannya bersifat tidak tetap.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu
tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat
tetap. (3) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu
yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) demi hukum menjadi
perjanjian kerja waktu tidak tertentu. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis
dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu, dan
batas waktu perpanjangan perjanjian kerja waktu
tertentu diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
DIUBAH |
16 |
61 |
(1) Perjanjian kerja berakhir apabila: a. pekerja meninggal dunia; b. berakhirnya jangka waktu perjanjian
kerja; c. adanya putusan pengadilan dan/atau
putusan atau penetapan lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap; atau d. adanya keadaan atau kejadian tertentu
yang dicantumkan dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama
yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja. (2) Perjanjian kerja tidak berakhir
karena meninggalnya pengusaha atau beralihnya hak atas
perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan, atau
hibah. (3) Dalam hal terjadi pengalihan
perusahaan maka hak-hak pekerja/buruh menjadi tanggung jawab
pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian
pengalihan yang tidak mengurangi hak-hak pekerja/buruh. (4) Dalam hal pengusaha, orang
perseorangan, meninggal dunia, ahli waris pengusaha dapat
mengakhiri perjanjian kerja setelah merundingkan dengan
pekerja/buruh. (5) Dalam hal pekerja/buruh meninggal
dunia, ahli waris pekerja/buruh berhak mendapatkan
hak-haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku atau hak-hak yang telah diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian
kerja bersama.B |
(1) Perjanjian kerja berakhir apabila: a- pekerja/buruh meninggal dunia;" b. berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja; c. selesainya suatu pekerjaan tertentu; d. adanya putusan pengadilan danf atau putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau e. adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
(2) Perjanjian kerja tidak berakhir karena meninggalnya pengusaha atau beralihnya hak atas perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan, atau hibah. (3) Dalam hal terjadi pengalihan perusahaan, hak-hak pekerja/buruh menjadi tanggung jawab pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan yang tidak mengurangi hak-hak pekerja/buruh. (4) Dalam hal pengusaha orang perseorangan meninggal dunia, ahli waris pengusaha dapat mengakhiri perjanjian kerja setelah merundingkan dengan pekerja/buruh. (5) Dalam hal pekerja/buruh meninggal dunia, ahli waris pekerja/buruh berhak mendapatkan hak-haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau hak-hak yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
|
DIUBAH |
17 |
61A |
- |
(1) Dalam hal perjanjian kerja waktu
tertentu berakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat
(1) huruf b dan huruf c, pengusaha wajib memberikan
uang kompensasi kepada pekerja/ buruh. (21 Uang kompensasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diberikan kepada pekerja/buruh sesuai
dengan masa kerja pekerja/buruh di perusahaan
yang bersangkutan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai uang
kompensasi diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
SISIPAN BARU |
18 |
64 |
Perusahaan dapat menyerahkan sebagian
pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya
melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan
jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis. |
- |
DIHAPUS |
19 |
65 |
(1) Penyerahan sebagian pelaksanaan
pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui
perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara
tertulis. (2) Pekerjaan yang dapat diserahkan
kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. dilakukan secara terpisah dari
kegiatan utama; b. dilakukan dengan perintah langsung
atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan; c. merupakan kegiatan penunjang
perusahaan secara keseluruhan; dan d. tidak menghambat proses produksi
secara langsung. (3) Perusahaan lain sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) harus berbentuk badan hukum. (4) Perlindungan kerja dan syarat-syarat
kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan lain
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya
sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat
kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. (5) Perubahan dan/atau penambahan
syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri. (6) Hubungan kerja dalam pelaksanaan
pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara
perusahaan lain dan pekerja/buruh yang dipekerjakannya.
(7) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud
dalam ayat (6) dapat didasarkan atas perjanjian kerja
waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu
tertentu apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 59. (8) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2), dan ayat (3), tidak terpenuhi, maka
demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan
perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi
hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi
pekerjaan. (9) Dalam hal hubungan kerja beralih ke
perusahaan pemberi pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(8), maka hubungan kerja pekerja/buruh dengan
pemberi pekerjaan sesuai dengan hubungan kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (7). |
- |
DIHAPUS |
20 |
66 |
(1) Pekerja/buruh dari perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh
pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau
kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses
produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau
kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses
produksi. (2) Penyedia jasa pekerja/buruh untuk
kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak
berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi
syarat sebagai berikut: a. adanya hubungan kerja antara
pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; b. perjanjian kerja yang berlaku dalam
hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah
perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59
dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu
yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua
belah pihak; c. perlindungan upah dan kesejahteraan,
syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul
menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh; dan d. perjanjian antara perusahaan pengguna
jasa pekerja/buruh dan perusahaan lain yang
bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat
pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam undang-undang
ini. (3) Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan
bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki izin
dari instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan.
(4) Dalam hal ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf b, dan
huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum
status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan
kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi
pekerjaan. |
(1) Hubungan kerja antara perusahaan alih
daya dengan pekerja/buruh yang dipekerjakannya
didasarkan pada perjanjian kerja yang dibuat secara
tertulis, baik perjanjian kerja waktu tertentu maupun
perjanjian kerja waktu tidak tertentu. (2) Pelindungan pekerja/buruh, upah dan
kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan
yang timbul dilaksanakan sekurang-kurangnya sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
dan menjadi tanggung jawab perusahaan alih
daya. (3) Dalam hal perusahaan alih daya
mempekerjakan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian
kerja waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), perjanjian kerja tersebut harus
mensyaratkan pengalihan pelindungan hak-hak bagi
pekerja/buruh apabila terjadi pergantian perulsahaan
alih daya dan sepanjang objek pekerjaannya tetap ada. (4) Perusahaan alih daya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berbentuk badan hukum dan wajib memenuhi Perizinan Berusaha yang
diterbitkan oleh Pemerintah Pusat. (5) Perizinan Berusaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) harus memenuhi norma, standar,
prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah
Pusat. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai
pelindungan pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dan Perizinan Berusaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan
Pemerintah. |
DIUBAH |
21 |
77 |
(1) Setiap pengusaha wajib melaksanakan
ketentuan waktu kerja. (2) Waktu kerja sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) meliputi: a. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40
(empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja
dalam 1 (satu) minggu; atau b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40
(empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja
dalam 1 (satu) minggu. (3) Ketentuan waktu kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku bagi sektor usaha atau
pekerjaan tertentu. (4) Ketentuan mengenai waktu kerja pada
sektor usaha atau pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri. |
(1) Setiap pengusaha wajib melaksanakan
ketentuan waktu kerja. (2) Waktu kerja sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi: a. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40
(empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari
kerja dalam 1 (satu) minggu; atau b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40
(empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima)
hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
(3) Ketentuan waktu kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi sektor usaha
atau pekerjaan tertentu. (4) Pelaksanaan jam kerja bagi
pekerja/buruh di perusahaan diatur dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai waktu
kerja pada sektor usaha atau pekerjaan tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
|
DIUBAH |
22 |
78 |
(1) Pengusaha yang mempekerjakan
pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 77 ayat (2) harus memenuhi syarat: a. ada persetujuan pekerja/buruh yang
bersangkutan; dan b. waktu kerja lembur hanya dapat
dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari
dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu. (2) Pengusaha yang mempekerjakan
pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) wajib membayar upah kerja lembur. (3) Ketentuan waktu kerja lembur
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b tidak berlaku bagi
sektor usaha atau pekerjaan tertentu. (4) Ketentuan mengenai waktu kerja lembur
dan upah kerja lembur sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri. |
(1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) harus memenuhi syarat: a- ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan b. waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling lama 4 (empat) jam dalam 1 (satu) hari dan 18 (delapan belas) jam dalam 1 (satu) minggu.
(2) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membayar upah kerja lembur. (3) Ketentuan waktu kerja lembur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai waktu kerja lembur dan upah kerja lembur diatur dalam Peraturan Pemerintah.
|
DIUBAH |
23 |
79 |
(1) Pengusaha wajib memberi waktu
istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh.
(2) Waktu istirahat dan cuti sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), meliputi : a. istirahat antara jam kerja,
sekurang-kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam
terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak
termasuk jam kerja; b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk
6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua)
hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; c. cuti tahunan, sekurang-kurangnya 12
(dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang
bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus
menerus; dan d. istirahat panjang sekurang-kurangnya 2
(dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan
kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi
pekerja/buruh yang
telah bekerja selama 6 (enam) tahun
secara terus- menerus pada perusahaan yang sama dengan
ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak
berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua)
tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap
kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun. (3) Pelaksanaan waktu istirahat tahunan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c diatur
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau
perjanjian kerja bersama. (4) Hak istirahat panjang sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) huruf d hanya berlaku bagi
pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan tertentu. (5) Perusahaan tertentu sebagaimana
dimaksud dalam ayat (4) diatur dengan Keputusan Menteri. |
(1) Pengusaha wajib memberi: a- waktu istirahat; dan b. cuti. (21 Waktu istirahat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a wajib diberikan kepada
pekerja/buruh paling sedikit meliputi: a. istirahat antara jam kerja, paling
sedikit setengah jam setelah bekerja selama 4
(empat) jam terus menerus, dan waktu istirahat
tersebut tidak termasuk jam kerja; dan b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk
6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu. (3) Cuti sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b yang wajib diberikan kepada
pekerja/buruh, yaitu cuti tahunan, paling sedikit 12 (dua
belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan
bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus
menerus. (4) Pelaksanaan cuti tahunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diatur dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama. (5) Selain waktu istirahat dan cuti
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2)l, dan
ayat (3), perusahaan tertentu dapat memberikan
istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian
kerja bersama. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai
perusahaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur
dengan Peraturan Pemerintah. |
DIUBAH |
24 |
88 |
(1) Setiap pekerja/buruh berhak
memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan. (2) Untuk mewujudkan penghasilan yang
memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemerintah
menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh. (3) Kebijakan pengupahan yang melindungi
pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
meliputi : a. upah minimum; b. upah kerja lembur; c. upah tidak masuk kerja karena
berhalangan; d. upah tidak masuk kerja karena
melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya; e. upah karena menjalankan hak waktu
istirahat kerjanya; f. bentuk dan cara pembayaran upah; g. denda dan potongan upah; h. hal-hal yang dapat diperhitungkan
dengan upah; i. struktur dan skala pengupahan yang
proporsional; j. upah untuk pembayaran pesangon; dan k. upah untuk perhitungan pajak
penghasilan. (4) Pemerintah menetapkan upah minimum
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a
berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan
produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. |
(1) Setiap pekerja/buruh berhak atas
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. (21 Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan
pengupahan sebagai salah satu upaya mewujudkan hak pekerja/buruh atas penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan. (3) Kebijakan pengupahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) meliputi: a upah minimum; b. stmktur dan skala upah; c upah kerja lembur; d upah tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena alasan
tertentu; e bentuk dan cara pembayaran upah; f hal-hal yang dapat diperhitungkan
dengan upah; dan g upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya. (4) Ketentuan iebih lanjut mengenai
kebijakan pengupahan diatur dalam Peraturan
Pemerintah. |
DIUBAH |
25 |
88A |
- |
(1) Hak pekerja/buruh atas upah timbul
pada saat terjadi hubungan kerja antara
pekerja/buruh dengan pengusaha dan berakhir pada saat putusnya hubungan kerja. (2) Setiap pekerja/buruh berhak
memperoleh upah yang sama untuk pekerjaan yang sama nilainya. (3) Pengusaha wajib membayar upah kepada pekerja/buruh sesuai dengan kesepakatan. (4) Pengaturan pengupahan yang ditetapkan
atas kesepakatan antara pengusaha dan
pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak
boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. (5) Dalam hal kesepakatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) lebih rendah atau bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum dan pengaturan pengupahan dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. (6) Pengusaha yang karena kesengajaan
atau kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan pembayaran upah, dikenakan denda sesuai
dengan persentase tertentu dari upah
pekerja/buruh. (7) Pekerja/buruh yang melakukan
pelanggaran karena kesengajaan atau kelalaiannya dapat
dikenakan denda. (8) Pemerintah mengatur pengenaan denda pengusaha dan/atau pekerja/buruh pembayaran upah. |
SISIPAN BARU |
26 |
88B |
- |
(1) Upah ditetapkan berdasarkan: a satuan waktu; dan/atau b. satuan hasil. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai upah
berdasarkan satuan waktu dan/atau satuan hasil
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Pemerintah. |
SISIPAN BARU |
27 |
88C |
- |
(1) Gubernur wajib menetapkan upah minimum provinsi. (2) Gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten/ kota dengan syarat tertentu. (3) Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan berdasarkan
kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan. (4) Syarat tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi pertumbuhan ekonomi daerah atau
inflasi pada kabupaten/kota yang bersangkutan. (5) Upah minimum kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus lebih tinggi
dari upah minimum provinsi. (6) Kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menggunakan data
yang bersumber dari lembaga yang berwenang di
bidang Statistik. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata
cara penetapan upah minimum sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dan syarat tertentu sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
SISIPAN BARU |
28 |
88D |
- |
(1) Upah minimum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 88C ayat (1) dan ayat (2) dihitung dengan menggunakan formula perhitungan upah
minimum. (2) Formula perhitungan upah minimum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat variabel pertumbuhan ekonomi atau inflasi. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai
formula perhitungan upah minimum diatur dalam Peraturan
Pemerintah |
SISIPAN BARU |
29 |
88E |
- |
(1) Upah minimum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 88C ayat (1) dan ayat (2) berlaku bagi
pekerja/buruh dengan masa kerja kurang dari 1 (satu)
tahun pada perusahaan yang bersangkutan. (2) Pengusaha dilarang membayar upah
lebih rendah dari upah minimum. |
SISIPAN BARU |
30 |
89 |
(1) Upah minimum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 88 ayat (3) huruf a dapat terdiri atas: a. upah minimum berdasarkan wilayah
provinsi atau kabupaten/kota;
b. upah minimum berdasarkan sektor pada
wilayah provinsi atau kabupaten/kota; (2) Upah minimum sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diarahkan kepada pencapaian kebutuhan
hidup layak. (3) Upah minimum sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) ditetapkan oleh Gubernur dengan
memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan
Provinsi dan/atau Bupati/Walikota. (4) Komponen serta pelaksanaan tahapan
pencapaian kebutuhan hidup layak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri. |
- |
DIHAPUS |
31 |
90 |
(1) Pengusaha dilarang membayar upah
lebih rendah dari upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal
89. (2) Bagi pengusaha yang tidak mampu
membayar upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal
89 dapat dilakukan penangguhan. (3) Tata cara penangguhan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri. |
- |
DIHAPUS |
32 |
90A |
- |
Upah di atas upah minimum ditetapkan
berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh di perusahaan |
SISIPAN BARU |
33 |
90B |
- |
(1) Ketentuan upah minimum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 88C ayat (1) dan ayat (2)
dikecualikan bagi Usaha Mikro dan Kecil. (21 Upah pada Usaha Mikro dan Kecil
ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha
dan pekerja/ buruh di perusahaan. (3) Kesepakatan upah sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) sekurang-kurangnya sebesar persentase
tertentu dari rata-rata konsumsi masyarakat
berdasarkan data yang bersumber dari lembaga yang
berwenang di bidang statistik. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai upah
bagi Usaha Mikro dan Kecil diatur dalam Peraturan
Pemerintah. |
SISIPAN BARU |
34 |
91 |
(1) Pengaturan pengupahan yang ditetapkan
atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau
serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih
rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Dalam hal kesepakatan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) lebih rendah atau bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut
batal demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. |
- |
DIHAPUS |
35 |
92 |
(1) Pengusaha menyusun struktur dan skala
upah dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa
kerja, pendidikan, dan kompetensi. (2) Pengusaha melakukan peninjauan upah
secara berkala dengan memperhatikan kemampuan perusahaan
dan produktivitas. (3) Ketentuan mengenai struktur dan skala
upah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan
Keputusan Menteri. |
(1) Pengusaha wajib men5rusun struktur
dan skala upah di perusahaan dengan memperhatikan
kemampuan perusahaan dan produktivitas. (2) Struktur dan skala upah digunakan
sebagai pedoman pengusaha dalam menetapkan upah. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai
struktur dan skala upah diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
DIUBAH |
36 |
92A |
- |
Pengusaha melakukan peninjauan upah secara berkala dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan Produktivitas. |
SISIPAN BARU |
37 |
94 |
Dalam hal komponen upah terdiri dari upah
pokok dan tunjangan tetap maka besarnya upah pokok
sedikit – dikitnya 75 % ( tujuh puluh lima perseratus ) dari
jumlah upah pokok dan tunjangan tetap |
Dalam hal komponen upah terdiri atas upah pokok dan tunjangan tetap, besarnya upah pokok paling sedikit 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah upah pokok dan tunjangan tetap.
|
DIUBAH |
38 |
95 |
(1) Pelanggaran yang dilakukan oleh
pekerja/buruh karena kesengajaan atau kelalaiannya dapat
dikenakan denda. (2) Pengusaha yang karena kesengajaan
atau kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan pembayaran
upah, dikenakan denda sesuai dengan persentase tertentu
dari upah pekerja/buruh. (3) Pemerintah mengatur pengenaan denda
kepada pengusaha dan/atau pekerja/buruh, dalam pembayaran
upah. (4) Dalam hal perusahaan dinyatakan
pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari
pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan
pembayarannya. |
(1) Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, upah dan hak lainnya yang belum diterima oleh pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya. (2) Upah pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan pembayarannya sebelum pembayaran kepada semua kreditur. (3) Hak lainnya dari pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan pembayarannya atas semua kreditur kecuali para kreditur pemegang hak jaminan kebendaan. |
DIUBAH |
39 |
96 |
Tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh
dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan
kerja menjadi kedaluwarsa setelah melampaui jangka
waktu 2 (dua) tahun sejak timbulnya hak. |
- |
DIHAPUS |
40 |
97 |
Ketentuan mengenai penghasilan yang
layak, kebijakan pengupahan, kebutuhan hidup layak, dan
perlindungan pengupahan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 88, penetapan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 89, dan pengenaan denda sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 95 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur
dengan Peraturan Pemerintah. |
- |
DIHAPUS |
41 |
98 |
(1) Untuk memberikan saran, pertimbangan,
dan merumuskan kebijakan pengupahan yang akan ditetapkan
oleh pemerintah, serta untuk pengembangan
sistem pengupahan nasional dibentuk Dewan Pengupahan
Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota. (2) Keanggotaan Dewan Pengupahan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari unsur
pemerintah, organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh,
perguruan tinggi, dan pakar. (3) Keanggotaan Dewan Pengupahan tingkat
Nasional diangkat dan diberhentikan oleh Presiden,
sedangkan keanggotaan Dewan Pengupahan Provinsi, Kabupaten/Kota
diangkat dan diberhentikan oleh Gubenur/Bupati/
Walikota. (4) Ketentuan mengenai tata cara
pembentukan, komposisi keanggotaan, tata cara pengangkatan dan
pemberhentian keanggotaan, serta tugas dan tata kerja
Dewan Pengupahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2), diatur dengan Keputusan Presiden. |
(1) Untuk memberikan saran dan
pertimbangan kepada Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah
dalam perumusan kebijakan pengupahan serta pengembangan sistem pengupahan dibentuk
dewan pengupahan. (21 Dewan pengupahan terdiri atas unsur
Pemerintah, organisasi pengusaha, serikat
pekerja/serikat buruh, pakar, dan akademisi. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata
cara pembentukan, komposisi keanggotaan, tata
cara pengangkatan dan pemberhentian
keanggotaan, serta tugas dan tata kerja dewan pengupahan
diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
DIUBAH |
42 |
151 |
(1) Pengusaha, pekerja/buruh, serikat
pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi
pemutusan hubungan kerja. (2) Dalam hal segala upaya telah
dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari,
maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib
dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat
buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang
bersangkutan tidak menjadi anggota serikat
pekerja/serikat buruh. (3) Dalam hal perundingan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) benar-benar tidak menghasilkan
persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan
kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh
penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial. |
(1) Pengusaha, pekerja/buruh, serikat
pekerjalserikat buruh, dan Pemerintah harus mengupayakan
agar tidak terjadi pemutusan hubungan kerja. (2) Dalam hal pemutusan hubungan kerja
tidak dapat dihindari, maksud dan alasan pemutusan
hubungan kerja diberitahukan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh dan/atau serikat
pekerja/serikat buruh. (3) Dalam hal pekerja/buruh telah
diberitahu dan menolak pemutusan hubungan kerja,
penyelesaian pemutusan hubungan kerja wajib dilakukan
melalui perundingan bipartit antara pengusaha
dengan pekerja/buruh dan/atau serikat pekerjalserikat buruh. (41 Dalam hal perundingan bipartit
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mendapatkan kesepakatan, pemutusan hubungan kerja
dilakukan melalui tahap berikutnya sesuai dengan
mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan
industrial. |
DIUBAH |
43 |
151A |
- |
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2) tidak perlu dilakukan oleh pengusaha dalam hal: a. pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri; b. pekerja/buruh dan pengusaha berakhir hubungan kerjanya sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu; c. pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama; atau d. pekerja/buruh meninggal dunia.
|
SISIPAN BARU |
44 |
152 |
(1) Permohonan penetapan pemutusan
hubungan kerja diajukan secara tertulis kepada lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial disertai
alasan yang menjadi dasarnya. (2) Permohonan penetapan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dapat diterima oleh lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial apabila
telah dirundingkan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 151 ayat (2). (3) Penetapan atas permohonan pemutusan
hubungan kerja hanya dapat diberikan oleh lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika
ternyata maksud untuk memutuskan hubungan kerja telah
dirundingkan, tetapi perundingan tersebut tidak
menghasilkan Kesepakatan |
- |
DIHAPUS |
45 |
153 |
(1) Pengusaha dilarang melakukan
pemutusan hubungan kerja dengan alasan: a. pekerja/buruh berhalangan masuk kerja
karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu
tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara
terus-menerus; b. pekerja/buruh berhalangan menjalankan
pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara
sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku; c. pekerja/buruh menjalankan ibadah yang
diperintahkan agamanya;
d. pekerja/buruh menikah; e. pekerja/buruh perempuan hamil,
melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya; f. pekerja/buruh mempunyai pertalian
darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh
lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah
diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan,
atau perjanjian kerja bersama; g. pekerja/buruh mendirikan, menjadi
anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh,
pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat
pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja
atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan
ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama; h. pekerja/buruh yang mengadukan
pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan
pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan; i. karena perbedaan paham, agama, aliran
politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin,
kondisi fisik, atau status perkawinan; j. pekerja/buruh dalam keadaan cacat
tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena
hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang
jangka waktu penyembuhannya belum dapat
dipastikan. (2) Pemutusan hubungan kerja yang
dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) batal
demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan. |
(1) Pengusaha dilarang melakukan
pemutusan hubungan kerja kepada pekerja/buruh dengan alasan: a- berhalangan masuk kerja karena sakit
menurut keterangan dokter selama waktu tidak
melampaui 12 (dua belas) bulan secara
terus-menerus; b. berhalangan menjalankan pekerjaannya
karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang- undangan;
c. menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya; d. menikah; e. hamil, melahirkan, gugur kandungan,
atau men5rusui bayinya; f. mempunyai pertalian darah dan/atau
ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan; g. mendirikan, menjadi anggota dan/atau
pengururs serikat pekerjalserikat buruh,
pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat
pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam
kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian
kerja bersama; h. mengadukan pengusaha kepada pihak yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha
yang melakukan tindak pidana kejahatan; i. berbeda paham, agama, aliran politik,
suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin,
kondisi fisik, atau status perkawinan; dan j. dalam keadaan cacat tetap, sakit
akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena
hubungan kerja yang menurut surat keterangan
dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan. (2) Pemutusan hubungan kerja yang
dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/ buruh yang bersangkutan. |
DIUBAH |
46 |
154 |
Penetapan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 151 ayat (3) tidak diperlukan dalam hal: a. pekerja/buruh masih dalam masa
percobaan kerja, bilamana telah dipersyaratkan secara
tertulis sebelumnya; b. pekerja/buruh mengajukan permintaan
pengunduran diri, secara tertulis atas kemauan sendiri
tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha,
berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian
kerja waktu tertentu untuk pertama kali; c. pekerja/buruh mencapai usia pensiun
sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan,
perjanjian kerja bersama, atau peraturan
perundang- undangan; atau
d. pekerja/buruh meninggal dunia. |
- |
DIHAPUS |
47 |
154A |
- |
(1) Pemutusan hubungan kerja dapat
terjadi karena alasan:
a- perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau
pemisahan perusahaan dan pekerja/buruh tidak
bersedia melanjutkan hubungan kerja atau pengusaha tidak bersedia menerima pekerja/buruh; b. perusahaan melakukan efisiensi diikuti
dengan penutupan perusahaan atau tidak diikuti
dengan penutupan perusahaan yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian; c. perusahaan tutup yang disebabkan
karena perusahaan mengalami kerugian secara
terus menerus selama 2 (dua) tahun; d. perusahaan tutup yang disebabkan
keadaan memaksa (force majeur) . e. perusahaan dalam keadaan penundaan
kewajiban pembayaran utang; f. perusahaan pailit; g. adanya permohonan pemutusan hubungan
kerja yang diajukan oleh pekerja/buruh dengan
alasan pengusaha melakukan perbuatan sebagai
berikut: 1. menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/ buruh; 2. membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; 3. tidak membayar upah tepat pada waktu
yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih, meskipun pengusaha membayar upah secara tepat waktu sesudah itu; 4. tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/ buruh; 5. memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan; atau 6. memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan
kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan
tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja; h. adanya putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang menyatakan pengusaha tidak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada huruf
g terhadap permohonan yang diajukan oleh pekerja/buruh dan pengusaha memutuskan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja; i. pekerja/buruh mengundurkan diri atas
kemauan sendiri dan harus memenuhi syarat: 1. mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30
(tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri; 2. tidak terikat dalam ikatan dinas; dan 3. tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri; j. pekerja/buruh mangkir selama 5 (lima)
hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa
keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti
yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2
(dua) kali secara patut dan tertulis; k pekerja/buruh melakukan pelanggaran
ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama
dan sebelumnya telah diberikan surat
peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara
berturut-turut masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan kecuali ditetapkan lain
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan,
atau perjanjian kerja bersama; 1. pekerja/buruh tidak dapat melakukan
pekerjaan selama 6 (enam) bulan akibat ditahan
pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak
pidana; m. pekerja/buruh mengalami sakit
berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan
tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan; n. pekerja/buruh memasuki usia pensiun;
atau o. pekerja/buruh meninggal dunia. (2) Selain alasan pemutusan hubungan
kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat
ditetapkan alasan pemutusan hubungan kerja lainnya
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan,
atau perjanjian kerja bersama sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1). (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata
cara pemutusan hubungan kerja diatur dalam Peraturan
Pemerintah. |
SISIPAN BARU |
48 |
155 |
(1) Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) batal
demi hukum. (2) Selama putusan lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan,
baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap
melaksanakan segala kewajibannya. (3) Pengusaha dapat melakukan
penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh
yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan
tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya
yang biasa diterima pekerja/buruh. |
- |
DIHAPUS |
49 |
156 |
(1) Dalam hal terjadi pemutusan hubungan
kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan
atau uang penghargaan masa kerja dan uang
penggantian hak yang seharusnya diterima. (2) Perhitungan uang pesangon sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit sebagai berikut: a. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun,
1 (satu) bulan upah; b. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih
tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah; c. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih
tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah; d. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih
tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah; e. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih
tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah; f. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih,
tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah; g. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih
tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah. h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih
tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan
upah; i. masa kerja 8 (delapan) tahun atau
lebih, 9 (sembilan) bulan upah. (3) Perhitungan uang penghargaan masa
kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan
sebagai berikut : a. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih
tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah; b. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih
tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah; c. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau
lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat)
bulan upah; d. masa kerja 12 (duabelas) tahun atau
lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima)
bulan upah; e. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau
lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam)
bulan upah;
f. masa kerja 18 (delapan belas) tahun
atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7
(tujuh) bulan upah; g. masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun
atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8
(delapan) bulan upah; h. masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun
atau lebih, 10 (sepuluh ) bulan upah. (4) Uang penggantian hak yang seharusnya
diterima sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
meliputi: a. cuti tahunan yang belum diambil dan
belum gugur; b. biaya atau ongkos pulang untuk
pekerja/buruh dan keluarganya ketempat dimana pekerja/buruh
diterima bekerja; c. penggantian perumahan serta pengobatan
dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas perseratus)
dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa
kerja bagi yang memenuhi syarat; d. hal-hal lain yang ditetapkan dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian
kerja bersama. (5) Perubahan perhitungan uang pesangon,
perhitungan uang penghargaan masa kerja, dan uang
penggantian hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat
(3), dan ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. |
(1) Dalam hal terjadi pemutusan hubungan
kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon
dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang
penggantian hak yang seharusnya diterima. (2) Uang pesangon sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diberikan dengan ketentuan sebagai
berikut: a- masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun,
1 (satu) bulan upah; b. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih
tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah; c. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih
tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah; d. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih
tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan
upah; e. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih
tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima)
bulan upah; f. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih,
tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam)
bulan upah; g. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih
tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh)
bulan upah; h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih
tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8
(delapan) bulan upah; i. masa kerja 8 (delapan) tahun atau
lebih, 9 (sembilan) bulan upah.
(3) Uang penghargaan masa kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan ketentuan
sebagai berikut: a- masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih
tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah; b. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih
tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga)
bulan upah; c. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau
lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4
(empat) bulan upah; d. masa kerja 12 (duabelas) tahun atau
lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5
(lima) bulan upah; e. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau
lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6
(enam) bulan upah; f. masa kerja 18 (delapan belas) tahun
atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu)
tahun, 7 (tujuh) bulan upah; g. masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun
atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat)
tahun, 8 (delapan) bulan upah; h. masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun
atau lebih, 10 (sepuluh) bulan upah.
(4) Uang penggantian hak yang seharusnya
diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi: a- cuti tahunan yang belum diambil dan
belum gugur; b. biaya atau ongkos pulang untuk
pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat pekerja/buruh diterima bekerja; c. hal-haI lain yang ditetapkan dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau
perjanjian kerja bersama.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai
pemberian uang pesangon, uang penghargaan masa kerja,
dan uang penggantian hak sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam
Peraturan Pemerintah. |
DIUBAH |
50 |
157 |
(1) Komponen upah yang digunakan sebagai
dasar perhitungan uang pesangon, uang penghargaan masa
kerja, dan uang pengganti hak yang seharusnya diterima
yang tertunda, terdiri atas: a. upah pokok; b. segala macam bentuk tunjangan yang
bersifat tetap yang diberikan kepada pekerja/buruh dan
keluarganya, termasuk harga pembelian dari catu yang
diberikan kepada pekerja/buruh secara cuma-cuma,
yang apabila catu harus dibayar pekerja/buruh dengan
subsidi, maka sebagai upah dianggap selisih antara
harga pembelian dengan harga yang harus dibayar
oleh pekerja/buruh. (2) Dalam hal penghasilan pekerja/buruh
dibayarkan atas dasar perhitungan harian, maka
penghasilan sebulan adalah sama dengan 30 kali penghasilan
sehari. (3) Dalam hal upah pekerja/buruh dibayarkan
atas dasar perhitungan satuan hasil,
potongan/borongan atau komisi, maka penghasilan sehari adalah sama
dengan pendapatan rata-rata per hari selama 12 (dua belas)
bulan terakhir, dengan ketentuan tidak boleh kurang dari
ketentuan upah minimum provinsi atau kabupaten/kota.
(4) Dalam hal pekerjaan tergantung pada
keadaan cuaca dan upahnya didasarkan pada upah borongan,
maka perhitungan upah sebulan dihitung dari
upah rata-rata 12 (dua belas) bulan terakhir. |
(1) Komponen upah yang digunakan sebagai
dasar perhitungan uang pesangon dan uang
penghargaan masa kerja terdiri atas: a- upah pokok; dan b. tunjangan tetap yang diberikan kepada pekerja/ buruh dan keluarganya.
(2) Dalam hal penghasilan pekerja/buruh
dibayarkan atas dasar perhitungan harian, upah sebulan
sama dengan 30 (tiga puluh) dikalikan upah sehari. (3) Dalam hal upah pekerja/buruh
dibayarkan atas dasar perhitungan satuan hasil, upah sebulan
sama dengan penghasilan rata-rata dalam 12 (dua
belas) bulan terakhir. (4) Dalam hal upah sebulan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) lebih rendah dari upah minimum,
upah yang menjadi dasar perhitungan pesangon adalah
upah minimum yang berlaku di wilayah domisili perusahaan.
|
DIUBAH |
51 |
157A |
- |
(1) Selama penyelesaian perselisihan hubungan industrial, pengusaha dan pekerja/buruh harus tetap melaksanakan kewaj ibannya. (2) Pengusaha dapat melakukan tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap membayar upah beserta hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh. (3) Pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sampai dengan selesainya proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai tingkatannya.
|
SISIPAN BARU |
52 |
158 |
(1) Pengusaha dapat memutuskan hubungan
kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh
telah melakukan kesalahan berat sebagai
berikut: a. melakukan penipuan, pencurian, atau
penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan; b. memberikan keterangan palsu atau yang
dipalsukan sehingga merugikan perusahaan; c. mabuk, meminum minuman keras yang
memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di
lingkungan kerja; d. melakukan perbuatan asusila atau
perjudian di lingkungan kerja; e. menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau
pengusaha di lingkungan kerja; f. membujuk teman sekerja atau pengusaha
untuk melakukan perbuatan yang bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan; g. dengan ceroboh atau sengaja merusak
atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang
milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan; h. dengan ceroboh atau sengaja membiarkan
teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan
bahaya di tempat kerja; i. membongkar atau membocorkan rahasia
perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali
untuk kepentingan negara; atau j. melakukan perbuatan lainnya di
lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5
(lima) tahun atau lebih. (2) Kesalahan berat sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) harus didukung dengan bukti sebagai
berikut: a. pekerja/buruh tertangkap tangan; b. ada pengakuan dari pekerja/buruh yang
bersangkutan; atau c. bukti lain berupa laporan kejadian
yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh
sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
(3) Pekerja/buruh yang diputus hubungan
kerjanya berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), dapat memperoleh uang penggantian hak
sebagai dimaksud dalam Pasal 156 ayat (4). (4) Bagi pekerja/buruh sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) yang tugas dan fungsinya tidak mewakili
kepentingan pengusaha secara langsung, selain uang
penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4)
diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau
perjanjian kerja bersama. |
- |
DIHAPUS |
53 |
159 |
Apabila pekerja/buruh tidak menerima
pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal
158 ayat (1), pekerja/buruh yang bersangkutan dapat
mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial. |
- |
DIHAPUS |
54 |
160 |
(1) Dalam hal pekerja/buruh ditahan pihak
yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana
bukan atas pengaduan pengusaha, maka pengusaha tidak
wajib membayar upah tetapi wajib memberikan
bantuan kepada keluarga pekerja/buruh yang menjadi
tanggungannya dengan ketentuan sebagai berikut: a. untuk 1 (satu) orang tanggungan : 25%
(dua puluh lima perseratus) dari upah; b. untuk 2 (dua) orang tanggungan : 35%
(tiga puluh lima perseratus) dari upah; c. untuk 3 (tiga) orang tanggungan : 45%
(empat puluh lima perseratus) dari upah; d. untuk 4 (empat) orang tanggungan atau
lebih : 50% (lima puluh perseratus) dari upah. (2) Bantuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diberikan untuk paling lama 6 (enam) bulan takwin
terhitung sejak hari pertama pekerja/buruh ditahan oleh
pihak yang berwajib. (3) Pengusaha dapat melakukan pemutusan
hubungan kerja terhadap pekerja/buruh yang setelah 6
(enam) bulan tidak dapat melakukan pekerjaan sebagaimana
mestinya karena dalam proses perkara pidana sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1). (4) Dalam hal pengadilan memutuskan
perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) berakhir dan pekerja/buruh
dinyatakan tidak bersalah, maka pengusaha wajib
mempekerjakan pekerja/buruh kembali. (5) Dalam hal pengadilan memutuskan
perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan berakhir dan
pekerja/buruh dinyatakan bersalah, maka pengusaha dapat
melakukan pemutusan hubungan kerja kepada
pekerja/buruh yang bersangkutan.
(6) Pemutusan hubungan kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (5) dilakukan tanpa
penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial. (7) Pengusaha wajib membayar kepada
pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (5),
uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal
156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan
dalam Pasal 156 ayat (4). |
(1) Dalam hal pekerja/buruh ditahan pihak
yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana,
pengusaha tidak wajib membayar upah, tetapi wajib
memberikan bantuan kepada keluarga pekerja/buruh
yang menjadi tanggungannya dengan ketentuan sebagai
berikut: a- untuk 1 (satu) orang tanggungan,25%
(dua puluh lima persen) dari upah; b. untuk 2 (dua) orang tanggungan, 35%
(tiga puluh lima persen) dari upah; c. untuk 3 (tiga) orang tanggungan, 45%
(empat puluh lima persen) dari upah; d. untuk 4 (empat) orang tanggungan atau
lebih, 50% (lima puluh persen) dari upah.
(2) Bantuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diberikan untuk paling lama 6 (enam)
bulan terhitung sejak hari pertama pekerja/buruh ditahan
oleh pihak yang berwajib. (3) Pengusaha dapat melakukan pemutusan
hubungan kerja terhadap pekerja/buruh yang setelah
6 (enam) bulan tidak dapat melakukan pekerjaan
sebagaimana mestinya karena dalam proses perkara
pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Dalam hal pengadilan memutuskan
perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) berakhir dan pekerja/buruh
dinyatakan tidak bersalah, pengusaha wajib
mempekerjakan pekerja/ buruh kembali. (5) Dalam hal pengadilan memutuskan
perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan berakhir dan pekerja/buruh dinyatakan bersalah,
pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja kepada pekerja/ buruh yang bersangkutan. |
DIUBAH |
55 |
161 |
(1) Dalam hal pekerja/buruh melakukan
pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama,
pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja,
setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan
diberikan surat
peringatan pertama, kedua, dan ketiga
secara berturut- turut.
(2) Surat peringatan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) masing-masing berlaku untuk paling lama 6
(enam) bulan, kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. (3) Pekerja/buruh yang mengalami
pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) memperoleh uang pesangon sebesar 1 (satu)
kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa
kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3)
dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal
156 ayat (4). |
- |
DIHAPUS |
56 |
162 |
(1) Pekerja/buruh yang mengundurkan diri
atas kemauan sendiri, memperoleh uang penggantian hak
sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4). (2) Bagi pekerja/buruh yang mengundurkan
diri atas kemauan sendiri, yang tugas dan fungsinya tidak
mewakili kepentingan pengusaha secara langsung,
selain menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan
Pasal 156 ayat (4) diberikan uang pisah yang besarnya dan
pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama. (3) Pekerja/buruh yang mengundurkan diri
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi
syarat : a. mengajukan permohonan pengunduran diri
secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri; b. tidak terikat dalam ikatan dinas; dan c. tetap melaksanakan kewajibannya sampai
tanggal mulai pengunduran diri.
(4) Pemutusan hubungan kerja dengan
alasan pengunduran diri atas kemauan sendiri dilakukan tanpa
penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial. |
- |
DIHAPUS |
57 |
163 |
(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan
hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dalam hal terjadi
perubahan status, penggabungan, peleburan, atau
perubahan kepemilikan perusahaan dan pekerja/buruh
tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja, maka
pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali
sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang perhargaan masa
kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan
uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat
(4). (2) Pengusaha dapat melakukan pemutusan
hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perubahan
status, penggabungan, atau peleburan perusahaan,
dan pengusaha tidak bersedia menerima
pekerja/buruh di perusahaannya, maka pekerja/buruh berhak
atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan
Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali
ketentuan dalam Pasal 156 ayat (3), dan uang
penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4). |
- |
DIHAPUS |
58 |
164 |
(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan
hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan
tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian
secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau
keadaan memaksa (force majeur), dengan ketentuan
pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (2) uang penghargaan masa kerja
sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan
uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4). (2) Kerugian perusahaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) harus dibuktikan dengan laporan
keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang telah diaudit oleh
akuntan publik. (3) Pengusaha dapat melakukan pemutusan
hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan
tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun
berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force
majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi, dengan
ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon
sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang
penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan
Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai sesuai
ketentuan Pasal 156 ayat (4). |
- |
DIHAPUS |
59 |
165 |
Pengusaha dapat melakukan pemutusan
hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan
pailit, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang
pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2),
uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan
Pasal 156 ayat (4). |
- |
DIHAPUS |
60 |
166 |
Dalam hal hubungan kerja berakhir karena
pekerja/buruh meninggal dunia, kepada ahli warisnya
diberikan sejumlah uang yang besar perhitungannya sama
dengan perhitungan 2 (dua) kali uang pesangon sesuai ketentuan
Pasal 156 ayat (2), 1 (satu) kali uang penghargaan masa kerja
sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian
hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4). |
- |
DIHAPUS |
61 |
167 |
(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan
hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena memasuki
usia pensiun dan apabila pengusaha telah mengikutkan
pekerja/buruh pada program pensiun yang iurannya
dibayar penuh oleh pengusaha, maka pekerja/buruh tidak
berhak mendapatkan uang pesangon sesuai
ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja
sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3), tetapi tetap berhak
atas uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal
156 ayat (4). (2) Dalam hal besarnya jaminan atau
manfaat pensiun yang diterima sekaligus dalam program pensiun
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ternyata lebih
kecil daripada jumlah uang pesangon 2 (dua) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (2) dan uang penghargaan masa kerja
1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang
penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4), maka
selisihnya dibayar oleh pengusaha. (3) Dalam hal pengusaha telah
mengikutsertakan pekerja/buruh dalam program pensiun yang iurannya/preminya dibayar oleh pengusaha
dan pekerja/buruh, maka yang diperhitungkan
dengan uang pesangon yaitu uang pensiun yang
premi/iurannya dibayar oleh pengusaha. (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dapat diatur lain dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian
kerja bersama.
(5) Dalam hal pengusaha tidak
mengikutsertakan pekerja/buruh yang mengalami pemutusan
hubungan kerja karena usia pensiun pada program pensiun
maka pengusaha wajib memberikan kepada
pekerja/buruh uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan
Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak
sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4). (6) Hak atas manfaat pensiun sebagaimana
yang dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan
ayat (4) tidak menghilangkan hak pekerja/buruh atas
jaminan hari tua
yang bersifat wajib sesuai dengan
peraturan perundang- undangan yang berlaku. |
- |
DIHAPUS |
62 |
168 |
(1) Pekerja/buruh yang mangkir selama 5
(lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan
secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan
telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan
tertulis dapat diputus hubungan kerjanya karena
dikualifikasikan mengundurkan diri. (2) Keterangan tertulis dengan bukti yang
sah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diserahkan
paling lambat pada hari pertama pekerja/buruh masuk
bekerja. (3) Pemutusan hubungan kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) pekerja/buruh yang bersangkutan
berhak menerima uang penggantian hak sesuai
ketentuan Pasal 156 ayat (4) dan diberikan uang pisah
yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama. |
- |
DIHAPUS |
63 |
169 |
(1) Pekerja/buruh dapat mengajukan
permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha
melakukan perbuatan sebagai berikut: a. menganiaya, menghina secara kasar atau
mengancam pekerja/buruh; b. membujuk dan/atau menyuruh
pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan; c. tidak membayar upah tepat pada waktu
yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan
berturut-turut atau lebih; d. tidak melakukan kewajiban yang telah
dijanjikan kepada pekerja/buruh; e. memerintahkan pekerja/buruh untuk
melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan;
atau
f. memberikan pekerjaan yang membahayakan
jiwa, keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan
pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak
dicantumkan pada perjanjian kerja. (2) Pemutusan hubungan kerja dengan
alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pekerja/buruh
berhak mendapat uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan
Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian
hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4). (3) Dalam hal pengusaha dinyatakan tidak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) oleh lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial maka pengusaha dapat melakukan pemutusan
hubungan kerja tanpa penetapan lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial dan pekerja/buruh
yang bersangkutan tidak berhak atas uang pesangon sesuai
ketentuan Pasal 156 ayat (2), dan uang penghargaan
masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3). |
- |
DIHAPUS |
64 |
170 |
Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan
tidak memenuhi ketentuan Pasal 151 ayat (3) dan Pasal
168, kecuali Pasal 158 ayat (1), Pasal 160 ayat (3), Pasal
162, dan Pasal 169 batal demi hukum dan pengusaha wajib
mempekerjakan pekerja/buruh yang bersangkutan serta
membayar seluruh upah dan hak yang seharusnya diterima. |
- |
DIHAPUS |
65 |
171 |
Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan
hubungan kerja tanpa penetapan lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial yang berwenang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 158 ayat (1), Pasal 160 ayat (3),
dan Pasal 162, dan pekerja/buruh yang bersangkutan tidak
dapat menerima pemutusan hubungan kerja tersebut, maka
pekerja/buruh dapat mengajukan gugatan ke lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam
waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal dilakukan
pemutusan hubungan kerjanya. |
- |
DIHAPUS |
66 |
172 |
Pekerja/buruh yang mengalami sakit
berkepanjangan, mengalami cacat akibat kecelakaan kerja
dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui
batas 12 (dua belas) bulan dapat mengajukan pemutusan
hubungan kerja dan diberikan uang pesangon 2 (dua) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 2
(dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang pengganti
hak 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (4). |
- |
DIHAPUS |
67 |
184 |
(1) Barang siapa melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat (5), dikenakan
sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
sedikit Rp 100.000.000.00 (seratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp 500.000.000.00 (lima ratus juta
rupiah). (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan. |
- |
DIHAPUS |
68 |
185 |
(1) Barang siapa melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2),
Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 90
ayat (1), Pasal 143, dan Pasal 160 ayat (4) dan ayat (7),
dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda
paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan. |
(1) Barang siapa melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2), Pasal
68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 88A
ayat (3), Pasal 88E ayat (2), Pasal 143, Pasal 156 ayat
(1), atau Pasal 160 ayat (4) dikenai sanksi pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4
(empat) tahun dan/atau denda paling sedikit
Rp10O.0OO.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp400.000.000,0O (empat ratus juta
rupiah). (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan. |
DIUBAH |
69 |
186 |
(1) Barang siapa melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) dan ayat (3),
Pasal 93 ayat (2), Pasal 137, dan Pasal 138 ayat (1),
dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan
paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling
sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran. |
(1) Barang siapa melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) atau
ayat (3), atau Pasal 93 ayat (21, dikenakan sanksi
pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling
lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta
rupiah). (21 Tindak pidana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran. |
DIUBAH |
70 |
187 |
(1) Barang siapa melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2), Pasal 44 ayat
(1), Pasal 45 ayat (1), Pasal 67 ayat (1), Pasal 71 ayat (2),
Pasal 76, Pasal 78 ayat (2), Pasal 79 ayat (1) dan ayat (2),
Pasal 85 ayat (3), dan Pasal 144, dikenakan sanksi pidana
kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12
(dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp
10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran. |
Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1), Pasal 67 ayat (1), Pasal 7l ayat (2), Pasal 76, Pasal 78 ayat(2),Pasal79 ayat (1), ayat (2), atau ayat (3), Pasal 85 ayat (3), atau Pasal 144 dikenai sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp10.0OO.OO0,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran.
|
DIUBAH |
71 |
188 |
(1) Barang siapa melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), Pasal 38 ayat
(2), Pasal 63 ayat (1), Pasal 78 ayat (1), Pasal 108 ayat
(1), Pasal 111 ayat (3), Pasal 114, dan Pasal 148, dikenakan
sanksi pidana denda paling sedikit Rp 5.000.000,00 (lima juta
rupiah) dan paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah). (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran. |
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2), Pasal 63 ayat (1), Pasal 78 ayat (1), Pasal 108 ayat (1), Pasal 111 ayat (3), Pasal 114, atau Pasal 148 dikenai sanksi pidana denda paling sedikit Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp5O.O00.0OO,OO (lima puluh juta rupiah). (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran.
|
DIUBAH |
72 |
190 |
(1) Menteri atau pejabat yang ditunjuk
mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran
ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 5, Pasal
6, Pasal 15, Pasal 25, Pasal 38 ayat (2), Pasal 45
ayat (1), Pasal 47 ayat (1), Pasal 48, Pasal 87, Pasal 106, Pasal
126 ayat (3), dan Pasal 160 ayat (1) dan ayat (2)
Undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya. (2) Sanksi administratif sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) berupa : a. teguran; b. peringatan tertulis; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pembatalan persetujuan; f. pembatalan pendaftaran; g. penghentian sementara sebahagian atau
seluruh alat produksi; h. pencabutan ijin. (3) Ketentuan mengenai sanksi
administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
diatur lebih lanjut oleh Menteri. |
(1) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 14 ayat (1), Pasal 15, Pasal 25, Pasal 37 ayat (2), Pasal 38 ayat (21, Pasal 42 ayat (1), Pasal 47 ayat (1), Pasal 61A, Pasal 66 ayat (41, Pasal 87, Pasal 92, Pasal 106, Pasal 126 ayat (3), atau Pasal 160 ayat (1) atau ayat (2) undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya. (21 Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
|
DIUBAH |
73 |
PASAL 191A |
- |
Pada saat berlakunya Undang-Undang ini: a. untuk pertama kali upah minimum yang
berlaku, yaitu upah minimum yang telah ditetapkan
berdasarkan peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang
mengatur mengenai pengupahan. b. bagi perusahaan yang telah memberikan
upah lebih tinggi dari upah minimum yang ditetapkan
sebelum Undang-Undang ini, pengusaha dilarang
mengurangi atau menurunkan upah. |
SISIPAN BARU |
Media belajar dan sharing tentang berbagai materi yang telah saya pelajari dari hasil pengalaman saya sebagai HRD. Silakan memberikan komentar, baik saran maupun kritik yang membangun. Semoga blog ini bermanfaat untuk pembaca.
Rabu, 27 Oktober 2021
RESUME PERUBAHAN UU KETENAGAKERJAAN NO. 13 TAHUN 2003 KE DALAM UU CIPTA KERJA NO. 11 TAHUN 2020
Dear sahabat catatan-hrd, setelah lama vacum dan tidak mempublish artikel di blog kesayangan kita ini, kali ini saya akan kembali menuangkan artikel yang semoga bermanfaat untuk kita semua. Kali ini saya akan mengangkat tema tentang perubahan UU ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003 ke dalam UU Cipta kerja No. 11 Tahun 2020 (cluster ketenagakerjaan).
Seperti yang telah kita ketahui bersama, pada tahun 2020 lalu, pemerintah telah mengesahkan UU Cipta kerja No. 11 Tahun 2020 (cluster ketenagakerjaan) sebagai perubahan atas UU ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003. Uniknya, tidak semua pasal yang terdapat di dalam UU ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003 mengalami perubahan. Dalam hal ini beberapa diantaranya mengalami penghapusan pasal, penggubahan isi pasal, maupun penyisipan / penambahan pasal tertentu. Keunikan ini menimbulkan dokumen induk UU Ketenagakerjaan yang berlaku saat ini terpecah menjadi dua bagian yang tidak dapat dipisahkan, yaitu UU ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003 dan UU Cipta kerja No. 11 Tahun 2020 (cluster ketenagakerjaan). Ini tentu menimbulkan masalah baru bagi para praktisi terkait terutama para praktisi baru yaitu, dalam proses penelaahan menyeluruh pada substansi yang terkandung di dalamnya.
Guna mempermudah dan sebagai panduan dalam proses penelaahan tersebut, saya telah merangkum perubahan-perubahan yang ada ke dalam tabel di bawah ini.
Tabel
Resume Perubahan UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 Ke dalam UU Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020
Demikian resume perubahan tersebut, semoga bermanfaat.
Sumber :
UU No. 13 Tahun 2003
UU No. 11 Tahun 2020
Langganan:
Postingan (Atom)